Beberapa hari lalu, tepatnya tanggal 03 Januari 2012, saya beserta teman-teman yang lain mendapat tugas dari dosen pengampu matakuliah ushul fiqh untuk membuat tulisan yang berisi respon terhadap wacana tertutupnya pintu ijithad. Jadi, judul di atas sama sekali tidak dimaksudkan mengompori ataupun menprovokasi. Ia tidak lebih dari sekedar salah satu usaha penulis untuk menganalisa sebuah wacana yang sampai saat ini masih kerap disuarakan oleh sebagian pihak.
Seperti layaknya produk hukum yang lain, ijtihad tidak lepas dari kajian khusus para ulama, baik kalangan salaf maupun modern. Bahkan, di beberapa sisinya cenderung menuai kontroversi yang tidak berkesudahan, sebut saja terkait definisi, ruang lingkup, dan komponen-komponen lainnya. Maka dari itu, dengan pertimbangan agar tidak terlalu memperpanjang pembahasan, juga mencukupkan pada pembahasan teman-teman yang lain, penulis sengaja fokus pada satu hal saja, yakni sebagaimana yang disebutkan pada judul di atas.
Ijtihad dalam Dunia Islam
Belum ditemukan data yang pasti tentang pertama kalinya pemberlakuan ijtihad dalam meproduk sebuah keputusan. Tetapi, mengingat ijtihad adalah sebagian besar merupakan kerja akal, penulis condong pada kesimpulan bahwa ijitihad ada dan diterapkan sejak manusia pertama, Adam AS.
Al-Qur’an sendiri mencontohkan ijtihad dari beberapa Nabi dan Rasul AS, misalnya Nabi Nuh AS terkait kasus permohonan ampun dan keselamatan untuk anaknya yang menolak ajakannya, sebelum beliau tahu bahwa hal tersebut dilarang.[1] Hal serupa juga dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS. Beliau beristighfar untuk ayahnya yang kafir,[2] yang kemudian diluruskan oleh Allah SWT pada apa yang seharusnya.[3] Selain dua Nabi tersebut, Al-Qu’an juga merekam ijtihad dari Nabi Musa AS dan Nabi Harun,[4] Nabi Yunus AS,[5] Nabi Sulaiman dan Nabi Dawud,[6] yang juga telah ditunjukkan oleh Allah pada apa yang seharunya mereka perbuat.[7]
Dalam dunia Islam, ijtihad kerap kali dilakukan. Bahkan pada awal kemunculannya, yaitu pada zaman Nabi, sahabat, tabiin dan generasi sesudahnya. Pada periode ini kegiatan ijtihad kian berkembang dengan corak masing-masing daerah. Orang–orang Irak dengan kecenderungan melebihkan porsi rasio, sedangkan penduduk Madinah pada hadits-haditsnya. Tetapi tidak ada pertentangan yang frontal dari kedua belah pihak. Kemudian perkembangan selanjutnya terjadi pada periode imam-imam mujtahidin yang berlangsung di abad II H. sampai pertengahan abad IV H. Perkembangan ijtihad pada periode ini berlangsung pesat dan mengalami kristalisasi, dan ditandai dengan pembakuan metode isthnibath hukum dari Al-Qur’an dan hadits. Contoh yang paling kongkret adalah keberadaan Al-Risalah, karya Al-Syafi’i, yang sampai hari ini masih dianggap relevan dan tetap dipertahankan.[8] Keistimewa dari periode ini, juga sebelumnya adalah sikap sportif walau pun terjadi perbedaan pendapat, lapang dada, dan tidak jarang mengakui kebenaran pendapat orang lain.
Namun, keadaan mulai berubah setelah pada generasi berikutnya. Bahkan terbilang sebagai masa mulainya kemunduran kehidupan intelektual kaum muslim, sampai jatuhnya Kota Baghdad tahun 656 H./1258 M oleh tentara Mongol.[9] Pemikiran baru yang orisinil tidak berkembang lagi, yang terjadi ialah pengulangan, dan penghafalan yang sudah ada. Di samping itu, pemikiran kritis juga “terkekang”, yang menimbulkan menjamurnya mitos–mitos. Jadi, tidak berlebihan jika masa itu sering ditunjuk sebagai permulaan kemunduran peradaban Islam.[10] Fanatisme, klaim kebenaran, tidak ada toleransi pada perbedaan dan cenderung menyalahkan pendapat yang berseberangan dengan imam mujtahidnya beermunculan,[11] doktrin taqlid dan isu-isu terturupnya pintu ijtihad marak disuarakan.
Ada banyak alasan yang melatar belakangi lahirnya asumsi ini. KH. Ibrahim Hosen menuturkan sebagiannya:
1. Hukum Islam baik dalam bidang 'ibadah, mu'amalah, munakahah, jinayah dan lain sebagainya seluruhnya sudah lengkap dan dibukukan secara terperinci dan rapi. Karena itu kita tidak perlu melakukan ijtihad lagi.
2. Mayoritas Ahl al-Sunnah hanya mengakui Madzhab Empat. Oleh karena itu tiap-tiap yang menganut madzhab Ahl al-Sunnah harus memilih salah-satu dari Madzhab Empat. Ia harus terikat tidak boleh pindah madzhab.
3. Membuka pintu ijtihad selain hal itu percuma dan membuang-buang waktu, juga hasilnya akan berkisar:
a. Mungkin berupa hukum yang terdiri dari koleksi pendapat antara dua madzhab atau lebih, yang biasa kita kenal dengan istilah talfiq, yang kebolehannya masih diperselisihkan kaum ushuliyyin.
b. Mungkin berupa hukum yang telah dikeluarkan oleh salah satu Madzhab Empat, yang berarti ijtihad yang dilakukan itu hanyalah tahsil al-hasil.
c. Mungkin berupa hukum yang sesuai dengan salah satu mazhab di luar Mazhab Empat. Padahal, menurut mayoritas ulama Ahl al-Sunnah, selain Mazhab Empat tidaklah dianggap.
d. Mungkin berupa hukum yang tidak seorangpun ulama Islam membenarkannya. Hal semacam ini pada hakikatnya menentang ijma'.
4. Realitas sejarah menunjukkan bahwa sejak awal abad ke-IV Hijriah sampai detik ini tak seorangpun ulama berani menonjolkan diri atau ditonjolkan oleh pengikut-pengikutnya sebagai seorang mujtahid muthlaq/mustaqil. Hal ini menunjukkan bahwa untuk memenuhi syarat-syarat ijtihad yang telah ditentukan itu memang sangat sulit kalau tidak dikatakan tidak mungkin lagi untuk saat seperti sekarang ini.[12]
Alasan lain juga disampaikan oleh Abd al-Wahhab Khallaf. Dia menyatakan bahwa kelemahan melakukan ijtihad juga dipengaruhi oleh sikap pemimpin agama itu sendiri. Akibatnya, ijtihad dilakukan oleh mereka yang tidak kredibel, mereka yang hanya ingin mencari makan dengan menjual ijtihadnya di depan penguasa, yang pada gilirannya perbedaan pun semakin meluas. Alasan inilah yang menyebabkan sebagian ulama memutuskan untuk menutup pintu ijtihad dan mewajibkan taqlid, guna sebagai antisipasi mafsadah dalam legislasi hukum.[13]
Menyoal Wacana Tertutupnya Pintu Ijtihad
Pada dasarnya, wacana penutupan pintu ijtihad memang beralasan. Hanya saja tetap perlu kita pertanyakan. Dalam karyanya, al-Ijtihad hal. 196, Dr. Abd. Mun’im memaparkan bahwa statement tertutupnya pintu ijtihad sering kita dengar, dan sudah menjalar jauh ke segala penjuru. Baginya, statement ini justeru melahirkan pertanyaan baru, yaitu tentang siapa yang menutupnya. Menurutnya, semua ulama tidak pernah bersepakat melahirkan perintah menutup pintu ijtihad, dan tidak akan pernah berhasil.[14] Selain itu menurut Abd. Al-Wahhab Khallaf, tidak ketahui secara tepat kapan wacana tertutupnya pintu ijtihad dalam hukum Islam dikumandangkan. Yang diketahui hanyalah sebatas bahwa pemikiran dan wacana tersebut merambat pada abad ke-IV H. Menurutnya, wacana tertutupnya pintu ijtihad sama sekali tidak ada dasarnya, baik dari Al-Qur’an maupun al-Sunnah.[15]Selebihnya, KH. Ibrahim Hosen juga menuturkan beberapa alasan dari mereka yang berpendapat terbukanya ijtihad:
1. Menutup pintu ijtihad berarti menjadikan hukum Islam yang semestinya lincah dan dinamis menjadi kaku dan beku; sehingga Islam akan ketinggalan zaman. Sebab, akan banyak kasus baru yang hukumnya belum dijelaskan oleh al-Qur'an dan Sunnah serta belum dibahas oleh ulama-ulama terdahulu, tidak dapat diketahui bagaimana status hukumnya.
2. Menutup pintu ijtihad berarti menutup kesempatan ulama Islam untuk menciptakan pemikiran-pemikiran yang baik dalam memanfaatkan dan menggali sumber atau dalil hukum Islam.
3. Dengan membuka pintu ijtihad maka setiap permasalahan baru yang dihadapi umat, akan dapat diketahui hukumnya. Dengan demikian maka hukum Islam akan selalu berkembang dan tumbuh subur serta sanggup menjawab tantangan zaman.[16]
Demikian pendapat dari tokoh kontemporer. Selanjutnya, kita juga bisa menjumpai pendapat ulama klasik terkait wacana tersebut. Antara lain Imam ‘Izz al-Din bin Abd al-Salam (w. 660 H.). Dia menolak keras wacana tertutupnya pintu ijtihad. Dia berpendapat bahwa apabila terjadi fenomena yang tidak dieksplesitkan dalam syari’at (nash) atau fenomena tersebut merupakan polemik yang terjadi di antara ulama salaf dan khalaf, sudah semestinya ijtihad dari Al-Qur’an dan al-Sunnah yang dilakukan. Penolakan yang serupa juga datang dari al-Suyuthi (911 H), dengan karyanya, al-Radd ‘ala Man Akhlada ila al-Ard wa Jahila anna al-Ijtihad fi Kulli ‘Asr Fard, demikian pula Al-Syaukani. Dia menegaskan terbukanya pintu ijtihad bagi orang yang berkomptensi. Mereka yang menyatakan tertutupnya pintu ijtihad tidak memiliki sandaran, baik secara ‘aqli, maupun naqli.[17]
Ijtihad: Sebuah Solusi dan Kebutuhan
Dari pemaparan singkat di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa ijtihad merupakan kebutuhan, yakni sebagai upaya penemuan suatu hukum. Apalagi di zaman modern ini, hukum Islam dituntut senantiasa antisipatif, dinamis dan aktif menjawab berbagai persoalan.[18] Tetapi, walau pun ijtihad adakalnya merupakan solusi dan kebutuhan, bukan berarti setiap orang boleh melakukan. Ada wilayah yang menjadi cakupannya, yaitu, pertama: hukum-hukum yang didasarkan pada nash yang qath’i. Kedua: hukum yang sama sekali tidak ada nashnya, baik dari Al-Qur’an maupun sunnah.[19] Sedangkan beberapa syarat yang harus dipeuhi, adalah sebagai berikut:
1. Persayratan umum. Meliputi: baligh, berakal, memiliki bakat kemampuan nalar yang tinggi untuk memahami konsep-konsep yang pelik dan abstrak, dan memiliki keimanan yang baik.
2. Persayaratan utama: memahami bahasa Arab, menguasai ilmu ushul fiqh, memahami Al-Qur’an secara mendalam, minimal yang berkaitan dengan ayat-ayat hukum, memahami sunnah dan memahami maqashid al-Syari’ah.
3. Persyaratan Pendukung: mengetahui ada atau tidaknya dalil al-qath’i yang mengatur hukum masalah yang sedang dibahas, mengetahui persoalan-persoalan hukum yang menjadi objek perbedaan pendapat ulama, dan memiliki sifat takwa dan kesalehan.[20]
Sebagai bagian akhir dari tulisan ini, menarik kiranya apa yang dipaparkan oleh Syufa’at pada bagian kesimpulan di akhir tulisannya:
“Pertama: ijtihad adalah intellectual exercise seorang muslim untuk menetapkan suatu kasus hukum yang secara tegas belum ada ketentuan nash-nya dalam al-Qur’an dan Hadis. Kedua, kedudukan ijtihad dalam Islam amat penting, ijtihad merupakan sebagai ruh dari dinamika hukum Islam, dengan kata lain, ijtihad adalah modal penting agar hukum Islam senantiasa dapat menjawab persoalan kemanusiaan sesuai dengan perkembangan jaman. Ketiga, sejak dicanangkan gerakan pintu ijtihad telah tertutup pada awal abad 4 H/10 M, setelah wafat Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari (w. 310/922), sampai dengan dimulainya gerakan pembaharuan pemikiran Islam pada penghujung abad 12/18 umat Islam seakan berhenti berpikir.
Ibn Taimiyah (w. 728/1327) pada awal abad 7/13 pernah menggaungkan terbukanya pintu ijtihad. Namun, gaungan dan gugatan itu seakan tenggelam dalam gemuruh ber-taqlid. Dalam bidang fiqh para fuqaha hanya membatasi diri berijtihad dalam masing–masing mazhab yang dianutnya saja. Tidak ada lagi mujtahid muthlaq yang berijtihad langsung dari sumber pokok hukum-hukum al-Qur’an dan Hadis. Secara teoritis, kata Iqbal, kemungkinan berijtihad muthlaqmasih tetap diakui oleh Sunni, namun dalam prakteknya kemungkinan itu sangat sulit diwujudkan sebab syarat-syarat yang ditetapkan untuk bolehnya seseorang berijtihad terlalu berat dan sukar untuk dapat dipenuhi...” [21]
Allah a’lam bi al-shawab.
Ditulis oleh Miski M.*)
DAFTAR PUSTAKA
Abd. Rahman. Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah. 2010.
Hosen, Ibrahim. “TAQLID DAN IJTIHAD”, dalam http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/TaqlidIH4.html, diakses pada 06-01-12, pukul: 09.16
Khariri. Islam dan Budaya Masyarakat, edit. Ahmad Dahlan dan Abdul Wachid BS. Porwokerto: STAIN Porwokerto Press. 2008.
Syarjaya, H. E. Syibli. Tafsir Ayat-Ayat Ahkam. Jakarta: rajawali Press. 2008.
Syufa'at. “Hegemoni Politik dan Tertutupnya Pintu Ijtihad”. Ibda’. Vol. 3, No. 1 | Jan-Jun 2005.
Thanthawi, Muhammad Sayyid. Ijtiihad dalam Teologi Keselarasan. Surabaya: JP BOOKS. 2005.
[1] Lihat QS. Hud: 41-47
[2] QS. Maryam: 47
[3] QS. At-Taubah: 114
[4] QS. Al-A’raf: 148-151, QS. Thaha: 90-94
[5] QS. Al-Anbiya’: 87-88
[6] QS. Al-Anbiya’: 78-80. Terkait kasus ini, para ulama berbeda pendapat. Ada yang menyatakan bahwa keputusan dari keduanya adalah semata-mata bimbingan wahyu, ada pula yang berpendapat sebagai ijtihad. Pendapat kedua ini dipilih oleh Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi dalam bukunya, Ijtiihad dalam Teologi Keselarasan (2005: 44). Dengan alasan, bahwa andai memang berdasarkan wahyu tidak mungkin keduanya akan berbeda pendapat.
[7] Lihat Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi, Ijtiihad dalam Teologi Keselarasan (Surabaya: JP BOOKS, 2005), hlm. 23-44
[8] Syufa'at, “Hegemoni Politik dan Tertutupnya Pintu Ijtihad”, Ibda’, Vol. 3, No. 1 | Jan-Jun, 2005, hlm. 4
[9] Syufa'at, “Hegemoni Politik dan Tertutupnya Pintu Ijtihad”, hlm. 4
[10] Nurcholish Madjid, “Syarah Hasyiyah dalam Fiqh dan Masalah Stagnasi Pemikiran Hukum Islam”, dalam Budhy Munawar Rachman (Ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), hal. 313. Sebagaimana dikutip oleh Syufa'at, dalam “Hegemoni Politik dan Tertutupnya Pintu Ijtihad”, Ibda’, Vol. 3, No. 1 | Jan-Jun, 2005.
[11] H. E. Syibli Syarjaya, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, (Jakarta: rajawali Press, 2008), hlm. 40
[12] KH. Ibrahim Hosen, “TAQLID DAN IJTIHAD”, dalam http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/TaqlidIH2.html, diakses pada 06-01-12, pukul: 09.16
[13] Lihat Abd. Al-Wahhab Khallaf dalam majalah Liwa’ al-Islam, tahun IV (?), hlm. 583, sebagaimana dikutip oleh Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi, Ijtiihad dalam Teologi Keselarasan, hlm. 145-146
[14] Sebagaimana dikutip oleh Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi, Ijtiihad dalam Teologi Keselarasan, hlm. 144
[15] Lihat Abd. Al-Wahhab Khallaf dalam majalah Liwa’ al-Islam, tahun IV (?), hlm. 583, sebagaimana dikutip oleh Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi, Ijtiihad dalam Teologi Keselarasan, hlm. 146
[16] KH. Ibrahim Hosen, “TAQLID DAN IJTIHAD.”
[17] Sebagaimana dikutip oleh Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi, Ijtiihad dalam Teologi Keselarasan, hlm. 147 dan 149
[18] Drs. KH. Khariri, M.Ag, Islam dan Budaya Masyarakat, edit. Ahmad Dahlan dan Abdul Wachid BS (Porwokerto: STAIN Porwokerto Press, 2008), hlm. 202
[19] Drs. H. Abd. Rahman, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 349
[20] Drs. H. Abd. Rahman, Ushul Fiqh, hlm. 350-352