Engkau tak perlu tahu, bahan dasar dari Beranda sederhana ini adalah cinta yang sedang menyala... Duduklah dengan tenang, sampai terasa nyaman, kami hampar alasnya dengan segenap ketulusan. Rasakan sejuknya, kami mengolahnya lengkap dengan kerinduan panjang yang tak sempat terkatakan.. Segala daya telah diupayakan, dan engkau tak perlu tahu, bahwa kami siapkan semua ini di atas altar kemesraan untuk kita... Semoga. Silahkan.. Salam Ukhuwah untuk semua, penuh takdhim, ^_^

Ijtihad: Solusi dan Kebutuhan *)


Dalam Islam, kegiatan ijtihad hampir tidak bisa terlepaskan. Merupakan fakta sejarah yang tidak terbantahkan, bahwa ia berperan penting dalam pembentukan hukum yang tidak ada ketentuan khusus dari nash, atau ada tetapi masih bersifat dhanni. Ia sejak dini telah diperaktekan oleh pembawa risalah, nabi Muhammad SAW, yang kemudian terus, dan terus berlanjut pada generasi berikutnya. Disebutkan, bahwa ia mencapai puncak pada periode lahirnya imam-imam madzhab. Ini ditandai dengan keberadaan al-risalah, sebuah metodologi yang pertama kali diperkenalkan oleh al-Syafi’i, dan sampai hari ini tetap dianggap relevan dan terus dijadikan acuan.

Keadaan mulai berubah setelah periode ini. Generasinya cenderung labih pada “menerima yang ada.” Penggalian hukum dari sumber orisinilnya sudah banyak ditinggalkan. Mereka sibuk dengan karya-karya pendahulu mereka yang sudah dianggap final. Akhirnya, isu-isu tertutupnya pintu ijtihad kerap kali terdengar, bahkan merambat kemana-kemana.

Melihat kemandugan intelektual,, fanatisme madzhab dan beberapa fenomena lain yang “bermasalah” di dunia muslim, sebagian ulama menyuarakan kembali pentingnya ijtihad, tetapi suara-suara ajakan itu seakan tidak terdengar, terbawa gaung doktrin taqlid yang semakin menjadi-jadi.

Lalu, siapa yang patut dipersalahkan? Mereka yang menyuarakan tertututpnya pintu ijtihad bukan tanpa alasan. Ada upaya antisipasi penyelewengan hukum, apabila ijtihad itu dilakukan oleh mereka yang tidak berkompten, dan tidak jarang juga ijtihad “diperjual-belikan” untuk kepentingan pribadi dan kelompok, juga alasan-alasan lain yang tidak dibenarkan..

Disamping itu, ada banyak tokoh pula yang menolak isu-isu penutupan pintu ijtihad, baik ulama klasik, maupun cendekiawan modern. Sebut saja, Izz al-Din bin Abd al-Salam, al-Suyuthi, al-Syaukani, Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi, Abd al-Wahhab Khallaf dan lain-lain, dengan argumentasi masing-masing.

Menimbang

Kehadiran imam-iman madzhab tercatat telah menorehkan tinta emas dalam sejarah intelektualitas dan keilmuan umat Islam. Ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi kita, umat Islam. Tetapi, merasa bangga dengan prestasi mereka, atau merasa cukup dengan karya-karya feomenal mereka bukan hal bijak. Karena, kondisi sosio-kultural kita berbeda dengan mereka. Mereka hidup di masa yang tidak terlalu kompleks seperti masa kita sekarang. Kita menjumpai banyak hal yang tidak ada pada saat mereka masih hidup. Jadi, bagaimana mungkin kita akan tetap terpaku dan mencukupkan diri dengan mereka, padahal, realitas hidup menuntut hukum agama untuk selalu tampil dinamis, aktif, antisipatif, dan siap menjawab berbagai persoalan?

Penutupan pintu ijtihad tidak ubahnya sebagai pengekangan terhadap kretivitas manusia. Keengganan melakukan ijtihad akan melahirkan kejumudan berfikir. Hanya ikut-ikutan, mengekor, kemudian yang ada hanyalah kemunduran. Kalau kita pikir-pikir, harusnya, aktivitas ijtihad itu lebih bisa kita lakukan di zaman sekarang, dari pada masa-masa imam mujtahid yang dulu. Memang, secara intelektual mungkin kita kalah dari mereka. Tetapi, dari segi media, hari ini lebih mudah kita jumpai. Semisal, dalam meneliti kualitas sebuah hadits, kita tidak perlu lagi melakukan rihlah beribu-ribu mil jauhnya, tetapi bisa dilakukan dalam kamar sambil meng-klik mausu’ah tentang hadits. Begiitu pula hal-hal lain, seperti ushul fiqh, tafsir, dan ensiklopedia, semua bisa didapat dengan mudah.

Catatan sederhana ini bukan berarti melegalkan aktifitas ijtihad secara liberal, bebas tanpa aturan. Ada wilayah-wilayah tertentu yang tidak boleh dilanggar. Semisal, terkait akidah dan hal-hal yang pasti lainnya. Aritnya, wilayah ijtihad hanya berkisar seputar hukum, atau pada nash yang masih bersifat dhanni, serta bisa juga pada kasus yang memeng belum pernah dibahas dalam nash.

Ringkasnya, ijtihad merupakan solusi dan kebutuhan mendasar umat manusia. Ijtihad adalah upaya menggali kembali warisan intelektual pendahulu kita. Sudah bukan waktunya lagi kita terkekang dalam kejumudan, apalagi merasa puas sehingga tidak ada sesuatu yang bisa kita lakukan, padahal persoalan zaman semakin nampak ke permukaan. Tidak ada dasar yang pasti, baik dari Al-Qur’an, maupun hadits yang secara resmi menutup pintu ijtihad. Yang ada malah sebaliknya, Islam memberikan ruang yang luas bagi umatnya, termasuk mengakui akan adanya perbedaan hasil yang akan dicapai. “Kalau kamu benar, akan mendapat dua pahala. Kalau salah akan mendapat satu.” merupakan bukti betapa bijak Islam menangani perbedaan. Islam melihat proses, tidak semata-mata hasilnya saja. Salah sekalipun tetap mendapat pengahrgaan. Namun, sekali lagi, dalam konteks ini ijtihad bukan berarti sembarangan. Ada aturan main yang perlu dipenuhi agar penghargaan itu dapat kita raih. Ya, dalam bahasa sederhananya, kredibel, mumpuni, ahli dan lain sebagainya, seperti yang telah dicanangkan oleh para ulama dalam tulisan-tulisan mereka. Andai secara personal kita tidak memungkinkan, ijtihad juga bisa dilakukan secara kolektif. Apabila masih juga belum memungkinkan, masih ada banyak hal yang bisa kita lakukan, bisa dengan tarjih, dan lain sebagainya. Islam sama sekali tidak mempersulit umatnya.

Ditulis oleh Miski M.*)

Talaah Hadits Monogami Rasulullah SAW. Bersama Khadijah RA *)



A.      Latar Belakang Masalah

            Monogami adalah suatu bentuk perkawinan/pernikahan di mana si suami tidak menikah dengan perempuan lain dan si isteri tidak menikah dengan lelaki lain. Jadi singkatnya monogami merupakan nikah antara seorang laki dengan seorang wanita tanpa ada ikatan penikahan lain.[1] Selama ini monogami kita pahami dan konotasikan dengan kesetiaan. Makanya, tidak heran apabila praktek poligami kemudian diasumsikan dengan hal yang sebaliknya.
            Beberapa dekade terakhir, meski tidak sepopuler tema monogami, isu tentang monogami juga kerap kali dibicarakan. Asumsi sementara karena poligami yang dipraktekan oleh sebagian pihak ternyata cenderung dianggap “bermasalah.” Akhirnya, sejarah masa lalu, terkait monogami Rasul sampai poligaminya kembali ditilik. Dan, yang menjadi kajian khusus penulis pada konteks ini adalah kajian dari aspek hadits, yang dalam dunia Islam menjadi rujukan setelah al-Quran.[2]
            Berangkat dari realitas –yang barangkali menyisakan beragam pertanyaan- ini, penulis merasa tertarik untuk ikut mengangkatnya ke permukaan, guna sebagai upaya mencari penyelesaian, atau minimal mendapat sedikit pencerahan, agar tidak terjebak pada asumsi yang pada dasarnya sangat perlu dipertanyakan. Selain itu, guna tujuan mempermudah, penulis akan membahasnya berdasarkan rumusan masalah di bawah ini.
B.       Rumusan Masalah
            Seperti layaknya karya lain yang hampir serupa, dalam tulisan ini penulis akan merumuskan beberapa masalah yang akan menjadi pijakan dalam pembahasan selanjutnya, sebagaimana juga sedikit disinggung pada bagian sebelumnya:
1.      Bagaimanakah matan hadits yang membahas monogami Rasulullah SAW. juga terkait kajian sanadnya?
2.      Bagaimanakah monogami Rasulullah SAW. di tengah maraknya praktek poligami di tanah Arab?
3.      Bagaimana juga pemahaman hadits terkait rumah tangga ‘Ali dan Fatimah yang selama ini selalu digembar-gemborkan sebagai alasan mongami?
C.      Tujuan Penulisan
            Seiring dengan rumusan masalah di atas, maka penulisan makalah ini akan secara khusus mengupas apa yang disebutkan pada bagian sebelumnya, andai ada pembahasan yang keluar itu penulis maksudkan sebagai pelengkap saja:
1.      Akan menjelaskan kedudukan hadits yang berbicara tentang monogami Rasulullah SAW., baik dari segi sanad, maupun matannya.
2.      Akan menjelaskan praktek monogami Rasulullah di tengah maraknya poligami di tenganh masyarakat Arab ketika itu.
3.      Akan menjelaskan tentang hadits yang berkisah seputar kehidupan rumah tangga ‘Ali dengan Fatimah, yang selama ini kerap kali dijadikan alasan oleh beberapa kalangan sebagai pendukung monogami.
D.      Manfaat Penulisan
Hasil akhir dari tulisan ini diharapkan sebagai salah satu bahan kajian yang tidak berhenti di kelas saja, tetapi terus dikembangkan sampai benar-benar dirasa sudah final dan mencapai titik temu dari berbagai isu kontroversial yang selama ini seakan tidak berkesudahan; terlebih lagi bagi kita yang notabenenya jurusan tafsir dan hadits, diharapkan mampu memberi sedikit pencerahan.
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Telaah Hadits Monogami Rasulullah bersama Khadijah RA
1.        Matan Hadits[3]
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ أَخْبَرَنَا مَعْمَرٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ لَمْ يَتَزَوَّجْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى خَدِيجَةَ حَتَّى مَاتَتْ
Menceritakan kepada kami Abd ibn Humaid, mengabarkan kepada kami Abd al-Razzaq, mengabarkan kepada kami Ma’mar, dari al-Zuhri, dari ‘urwah, dari ‘Aisyah, dia berkata, “Rasulullah tidak memadu Khadijah sampai dia wafat.” Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Fadla’il al-Shahabah, nomor Hadits 4466.
Berdasarkan penelusuran melalui maktabah syamilah, sebenarnya masih bisa kita jumpai dalam riwayat yang lain terkait matan hadits ini, semisal dalam Mustadrak al-Hakim, dan lain-lain. Hanya saja penulis mencukupkan pada apa yang ada dalam kutub tis’ah, dengan pertimbangan lebih mempermudah; mencukupkan pada riwayat Muslim saja, sebuah riwayat yang menurut sebagian pendapat merupakan kitab tershahih setelah al-Qur’an.



2.        Takhrij Hadits
Sanad secara etimologi berarti sandaran, tempat kita bersandar. Sedangkan menurut terminologi ahli hadits, sanad adalah jalan yang menyampaikan kita pada matan hadits.[4] Sanad merupakan hal terpenting mendeteksi layaknya sebuah hadits bisa diterima atau ditolak. Terkait urgensi sanad ini, Sufyan al-Tsauri berkata, “Sanad merupakan senjata bagi orang mukmin...” Ibnu al-Mubarak berkata, “Sanad menurutku termasuk bagian dari agama...”[5]
Demikian pernyataan tegas dari ulama yang kredibelnya dalam ilmu hadits tidak perlu dipertanyakan lagi. Berangkat dari realitas inilah kemudian penulis mencoba untuk menganalisa sanad dari hadits di atas, minimal sebagai upaya pembelajaran, mengenal para tokoh hadits, dan yang pasti bukan dari upaya mempertanyakan keberadaan Shahih Muslim. Oleh karena itu, penulis mencoba untuk mengurutnya satu-persatu, insya Allah.
a.         Aisyah RA (w. 57 H.)
Dia adalah Aisyah binti Abi Bakar al-Shiddiq. Ibundanya bernama Ummu Ruman binti Amir. Dinikahi oleh Rasulullah dua tahun sebelum hijrah, menurut pendapat Abi Ubaidah; ada pula yang berpendapat tiga tahun sebelum hijrah, dan lain-lain.
Dia meriwayatkan hadits langsung dari Rasulullah SAW, juga sahabat-sahabat kenamaan lainnya, semisal Sa’d bin Abi Waqqash, Umar bin Khatthab, dan lain-lain. Sedangkan yang meriwayatkan darinya juga banyak, antara lain Sa’id bin al-Musayyab, al-Hasan, dan lain sebagainya.[6]
Karena dia berstatus shahabah (yang sekaligus istri Rasulullah), maka dalam pandangan ulama ke-adil-an dan haditsnya diterima. Yakni, berdasarkan pendapat bahwa seluruh sahabat Nabi SAW. adalah adil, sehingga tidak perlu al-jarh wa al-ta’dil lagi.[7]
b.      Urwah (w. 94)
Urwah bin al-Zubair bin al-Awwam bin Khuwailid bin Asad bin ‘Abd al-‘Uzza bin Qushay. Salah satu tabiin. Meriwayatkan hadits dari banyak sahabat Nabi SAW, antara lain Jabir bin Abdillah, Hasan, Husein, Zaid bin Tsabit dan lain-lain. Sedangkan yang meriwayatkan darinya juga terbilang banyak orang, diantaranya Sulaiman bin Yasar, ‘Abdullah bin ‘Urwah, Atha’ dan lain-lain. Sedangkan dalam al-jarh wa al-ta’dilnya dia berpredikat tsiqat dan sebagainya.[8]
c.       Al-Zuhri (w. 124/125)
Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Abdillah bin Syihab bin Abdillah bin al-Harits. Meriwayatkan hadits dari Anas bin Malik, Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf, al-Hasan bin Muhammad bin al-Hanafiyah dan lain-lain. Sedangkan yang meriwayatkan darinya antara lain Ma’mar bin Rasyid, Malik bin Anas, al-Laits bin Sa’ad dan lain-lain. Mengenai derajatnya, Ibnu Sa’ad mengutip dari ulama-ulama lain bahwa ia tsiqat.[9]
d.      Ma’mar (w. 154)
Ma’mar bin Rasyid al-Azdi. Meriwayatkan hadits dari Sufyan al-Tsawri, Sufyan bin Uyainah, al-Zuhri dan lain-lain, dan yang meriwayatkan darinya antara lain ‘Abd al-Razzaq, Ibrahim bin Musa al-Razi, ‘Abd bin Humaid dan lain-lain. Dia dikenal dengan tsiqat, tsabt dan sebagainya.[10] Kecuali riwayat yang ia sampaikan melalui jalur Hisyam, Tsabit, A’masy dan yang terjadi di Bashrah masih terdapat perbincangan.[11]
e.       Abd al-Razzaq (w. 211)
Abd al-Razzaq bin Hammam bin Nafi’. Meriwayatkan hadits dari Ma’mar, Sufyan al-Tsawri, Sufyan bin ‘Uyainah, ‘Abdullah bin Almubarak dan lain-lain. Sedangkan yang meriwayatkan hadits darinya antara lain adalah ‘Abd bin Humaid, ‘Ali bin al-Madini, dan lain-lain. Mengenai derajatnya ia tsiqat.[12]
f.       Abd bin Humaid (w. 249)
‘Abd bin Humaid bin Nashr al-Kassi, Abu Muhammad, yang terkenal dengan al-Kasysyi. Menurut satu pendapat dia bernama asli ‘Abd al-Hamid. Dia meriwayatkan hadits dari ‘Abd al-Razzaq, Ahmad bin Ishaq al-Hadlrami, Ahmad bin ‘Abdillah bin Yunus dan lain-lain. Sedangkan yang meriwayatkan darinya antara lain Muslim, al-Turmudzi dan lain-lain,[13] dia berpredikat tsiqat hafidh.[14]
Jadi, berdasarkan kriteria para perawinya, kualitas hadits ini tergolong shahih, sehingga bisa diterima dan bisa dijadikan acuan. Artinya, bahwa selama Khadijah RA diperistri oleh Rasulullah SAW. ia tidak pernah dimadu dengan siapa pun, sampai dia wafat.
B.       Monogami Rasulullah; Sebuah Rekontruksi Sosial
Khadijah RA., bernama lengkap Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin ‘Abd al-‘Uzza bin Qushay. Seorang bangsawan Quraisy yang kaya raya. Menikah dengan Rasulullah SAW. pada usia 28 tahun,[15] sedangkan beliau pada waktu itu berumur 25 tahun.[16] Sebelum menikah dengan Rasulullah SAW. ia pernah diperistri oleh ‘Atiq bin ‘A’idz bin ‘Abdillah bin ‘Umar bin Makhzum, kemudian ‘Abu Halah al-Tamimi, dan ia wafat pada usia tidak sampai 60 tahun.[17] Pada waktu itu beliau berumur 49 tahun 8 bulan.[18]
Bahwa Rasulullah SAW. setia monogami bersama Khadijah sampai dia wafat merupakan kenyataan yang tidak biasa dilakukan oleh masyarakat Arab pra Islam. Sebagai contoh, di Bani Tsaqif tiap laki-laki 10 istri, Qais bin Harits mempunyai 8 istri, Naufalbin Mu’awiyah memiliki 5 istri, Abd al-Muththalib bin Hasyim mempunyai 6 istri, Abu Sufyan bin Harb juga beristri 6 perempuan,[19] dan tokoh-tokoh lainnya.
Berangkat dari realitas ini, penulis sengaja menyebutnya sebagai rekontruksi sosial. Karena bagaiamana pun, seandainya beliau mau, tentunya beliau bisa saja memperistri perempuan lain di samping Khadijah mengingat bahwa pada waktu itu secara fisik sangat memungkinkan, tetapi kenyataannya hal ini tidak beliau lakukan. Yakni, selama 25 tahun beliau setia dengan satu pasangan saja, yaitu Khadijah. Baru kemudian seetelah dia wafat praktek poligami beliau lakukan, tetapi sekali lagi karena memang kenyataan sosial yang menginginkan demikian. Terbukti wanita-wanita yang beliau nikahi mayoritas janda tua dengan berbagai beban yang harus ditanggung.
Memang, dengan kenyataan ini, kita tidak bisa menutup mata dari keberadaan poligami dalam dunia Islam. Tetapi meski begitu bukan berarti poligami semudah monogami. Yang perlu ditekakan adalah bahwa dalam poligami terdapat persyaratan ketat yang perlu dipenuhi, sebagaimana yang sudah dicontohkan oleh Rasulullah selama menjalaninya, yaitu adil.
Persyaratan adil inilah yang kemudian sering terlupakan. Sehingga maklum saja jika kemudian yang ada hanyalah “masalah” dalam rumah tangga, bukan ketentraman. Tidak heran kiranya jika kemudian dengan lantang Abduh menyatakan, “Sesungguhnya poligami adalah haram secara pasti ketika ada kekhawatiran tidak dapat berbuat adil.”[20]  Berarti yang wajib adalah monogami jika ternyata sikap adil tidak terealisasikan dalam poligami.[21]
C.      Telaah Hadits Tentang Monogami ‘Ali dengan Fatimah
Sejauh penelusuran penulis terkait tema monogami, kisah rumah tangga ‘Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah binti Rasulillah juga tidak jarang turut disinggung. Misalnya terkait khutbah Nabi Muhammad di Mekah:
إِنَّ بَنِي هشَامِ بْنِ الْمُغِيرَةِ اسْتَأْذَنُوا فِي أَنْ يُنْكِحُوا ابْنَتَهُمْ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ، فَلاَ آذَنُ، ثُمَّ لاَ آذَنُ، ثُمَّ لاَ آذَنُ، إِلاَّ أَنْ يُرِيدَ ابْنُ أَبِي طَالِبٍ أَنْ يُطَلِّقَ ابْنَتِي وَيَنْكِحَ ابْنَتَهُمْ، فَإِنَّمَا هِيَ بَضْعَةٌ مِنِّي، يُرِيبُنِي مَا أَرَابَهَا، وَيُؤْذِينِي مَا آذَاهَا.
     "Sesungguhnya Bani Hisyam bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan salah seorang putri mereka kepada Ali bin Abi Thalib, maka aku tidak izinkan mereka, kemudian aku tidak izinkan mereka, kemudian aku tidak izinkan mereka.  Kecuali putra Abi Thalib itu (Ali) bersedia menceraikan putriku dan kemudian memilih menikahi anak perempuan itu. Karena sungguh anakku itu bagian dari diriku.  Meresahkanku apa yang meresahkannya, dan menyakitiku apa yang menyakitinya."
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad IV/328 (19134), al-Bukhari V/28 (3714), V/36 (3767), VII/47 (5230), VII/61 (5278); Muslim VII/140 (6388), VII/141 (6389); Abu Dawud (2070, 2071); Ibnu Majah (1998); al-Turmudzi (3867); al-Nasa’i (8312, 8465, 8313, 8466);[22] al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubra VII/307, 308, X/201-202, 288-289; al-Nasa’i dalam al-Sunan al-Kubra (8370-8371); Ibnu Abi ‘Ashim dalam al-Ahad wa al-Matsani (2954, 2955); al-Thahawi dalam Syarah Musykil al-Sunnah (4983, 4984, 4985); Ibnu Hibban (6955); Ibnu Qani’ dalam Mu’jam al-Shahabah III/110; Al-Thabrani dalam al-Kabir XX (1010, 1011); Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya’ II/40; al-Baghawi dalam Syarah al-Sunnah (4358, 3957).[23]
Hadits ini kerap kali dijadikan dasar oleh para pendukung monogami. Hanya saja, menurut penulis hal tersebut tidak tepat. Dikatakan tidak tepat karena dalam riwayat lain justeru mendukung pemahaman yang sebaliknya:
إِنَّ فَاطِمَةَ مِنِّي، وَأَنَا أَتَخَوَّفُ أَنْ تُفْتَنَ فِي دِينِهَا، ثُمَّ ذَكَرَ صِهْرًا لَهُ مِنْ بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ، فَأَثْنَى عَلَيْهِ فِي مُصَاهَرَتِهِ إِيَّاهُ، قَالَ: حَدَّثَنِي فَصَدَقَنِي، وَوَعَدَنِي فَوَفَى لِي، وَإِنِّي لَسْتُ أُحَرِّمُ حَلاَلاً، وَلاَ أُحِلُّ حَرَامًا، وَلَكِنْ وَاللهِ، لاَ تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَبِنْتُ عَدُوِّ اللهِ أَبَدًا.
"sesungguhnya Fatimah adalah dariku dan aku sangat khawatir dia mendapatkan fitnah pada agamanya." Kemudian Beliau menyebutkan kerabatnya (dari ikatan perkawinan) dari Bani Abd Syams dan memberikan pujian kepadanya dalam kekerabatan mereka dengannya. Beliau berkata, "dia berbicara padaku maka dia jujur kepadaku, dan dia berjanji kepadaku maka meyempurnakan janjinya kepadaku. Dan sesungguhnya aku tidak mengharamkan apa yang halal dan tidak menghalalkan apa yang haram. Akan tetapi, demi Allah, tidak berkumpul putri Rasulullah dan putri musuh Allah selama-lamanya.
Dalam riwayat yang lain disebutkan:
إِنَّ عَلِيًّا خَطَبَ بِنْتَ أَبِي جَهْلٍ، فَسَمِعَتْ بِذَلِكَ فَاطِمَةُ، فَأَتَتْ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَتْ: يَزْعُمُ قَوْمُكُ أَنَّكَ لاَ تَغْضَبُ لِبَنَاتِكَ، وَهَذَا عَلِيٌّ نَاكِحٌ بِنْتَ أَبِي جَهْلٍ، فَقَامَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَسَمِعْتُهُ حِينَ تَشَهَّدَ يَقُولُ: أَمَّا بَعْدُ، أَنْكَحْتُ أَبَا الْعَاصِ بْنَ الرَّبِيعِ، فَحَدَّثَنِي وَصَدَقَنِي، وَإِنَّ فَاطِمَةَ بَضْعَةٌ مِنِّي، وَإِنِّي أَكْرَهُ أَنْ يَسُوءَهَا، وَاللهِ، لاَ تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، وَبِنْتُ عَدُوِّ اللهِ عِنْدَ رَجُلٍ وَاحِدٍ، فَتَرَكَ عَلِيٌّ الْخِطْبَةَ.
“Sesungguhnya Ali meminang putri Abu Jahal. Fatimah mendengar hal tersebut lantas mengadu kepada Rasulullah saw.  Ia berkata : ‘Kaummu berkeyakinan bahwa engkau tidak akan marah kepada putri-putrimu (mohon jangan marah –red).  Ini Ali (akan) menikahi putri Abu Jahal.’ Maka Nabi saw. berdiri, dan aku mendengarnya bersabda ketika selesai tasyahhud : ‘Amma ba'du, aku menikahkan Abul-'Ash bin Rabi', ia pernah menyatakan sesuatu kepadaku dan ia memenuhinya.  Namun sungguh Fatimah itu bagian dari diriku, dan aku takut menyakitinya.  Demi Allah, tidak boleh bersatu putri Rasulullah dan putri musuh Allah pada seorang laki-laki.’ Maka Ali pun membatalkan pinangannya.”
Dalam riwayat lain disebutkan:         
 أَنَّ عَلِيًّا خَطَبَ ابْنَةَ أَبِي جَهْلٍ، فَوَعَدَ بِالنِّكَاحِ، فَأَتَتْ فَاطِمَةُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم، فَقَالَتْ: إِنَّ قَوْمَكَ يَتَحَدَّثُونَ أَنَّكَ لاَ تَغْضَبُ لِبَنَاتِكَ، وَإِنَّ عَلِيًّا قَدْ خَطَبَ ابْنَةَ أَبِي جَهْلٍ، فَقَامَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم، فَحَمِدَ اللهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، وَقَالَ: إِنَّمَا فَاطِمَةُ بَضْعَةٌ مِنِّي، وَإِنِّي أَكْرَهُ أَنْ يَفْتِنُوهَا، وَذَكَرَ أَبَا الْعَاصِ بْنَ الرَّبِيعِ، فَأَكْثَرَ عَلَيْهِ الثَّنَاءَ، وَقَالَ: لاَ يُجْمَعُ بَيْنَ ابْنَةِ نَبِيِّ اللهِ، وَبِنْتِ عَدُوِّ اللهِ، فَرَفَضَ عَلِيٌّ ذَلِكَ.
Sesungguhnya Ali meminang putri Abi Jahal, lalu dia berjanji untuk menikahinya. (Mngetahui hal tersebut) Fatimah mendatangi Nabi SAW., lalu berkata:” Sesungguhnya kaummu bicara bahwa dirimu tidak marah karena puterimu. Sesungguhnya Ali telah meminang puteri Abi Jahal.” Lalu Rasulullah SAW., berdiri, memuji Allah SWT., lalu bersabda: “Sesungguhnya Fatimah adalah bagian dariku. Aku tidak suka mereka menfitnahnya.” Beliau menyebut Abu al-‘Ash bin Rabi’, memuji-mujinya lalu bersabda: “Tidak berkumpul puteri Nabi Allah dengan puteri musuh-Nya.”  Kemudian Ali menolak hal tersebut.
Diriwayatkan oleh Ahmad IV/326 (19118, 19119, 19120); al-Bukhari II/14 (926), V/28 (3729), IV/101 (3110); Muslim VII/141 (6390, 6391), VII/142 (6392); Abu Dawud (2069); Ibnu Majah (1999); al-Nasa’i dalam al-Sunan al-Kubra (8314, 8469, 8468).[24]
Dengan lebih detail terkait beberapa hadits di atas, Ibnu Tin berkata:
”Pendapat yang paling benar dalam membawa makna kisah ini adalah, bahwasanya Nabi Muhammad SAW., mengharamkan kepada Ali, yaitu tidak mengumpulkan putri beliau SAW. dengan anak perempuan Abu Jahl karena akan menyakiti beliau, dan menyakiti Nabi hukumnya haram, berdasarkan ijma’. Adapun sabda Nabi Muhammad SAW.: ‘Aku tidak mengharamkan perkara yang halal,’ maknanya, dia (anak perempuan Abu Jahl) halal baginya kalau saja Fatimah bukan isterinya. Sedangkan mengumpulkan keduanya yang dapat menyakiti Nabi Muhammad SAW. maka tidak boleh”.[25]
Pada dasarnya, pernikahan yang akan dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib dengan putri Abi Jahl adalah boleh. Pelarangan tersebut terjadi karena dua alasan, pertama, hal tersebut menyakiti Rasulullah SAW. Kedua, takut terjadi fitnah atas Fatimah sebab rasa cemburu. Dalam hadits ini mengandung hukum haramnya menyakiti Rasulullah dengan segala bentuk apa pun, termasuk dengan sesuatu yang asalnya adalah boleh.[26]
Sebagai kesimpulan dari beberapa hadits yang ada, juga pendapat ulama di atas, kita bisa mengambil benang merah:
Pertama, Rasul saw. sadar betul bahwa poligami itu halal, dan beliau sama sekali tidak bermaksud mengharamkannya.
Kedua, Rasul saw. tidak memberikan izin bukan berarti karena hubungannya dengan Bani ‘Abd Syams jelek, karena ada di antara mereka, tepatnya Abul-'Ash bin Rabi', yang berhubungan baik dengan Rasul saw., dimana ia mampu menjadi suami yang bertanggung jawab dari Zainab, putri pertama Rasul saw.
Ketiga, alasan Rasul saw. tidak mengizinkan Ali poligami hanya karena satu saja, yakni tidak tega kalau Fatimah seorang putri Rasul Allah dimadu dengan seorang putri musuh Allah, Abu Jahal.  Itu saja.  Walaupun beberapa kerabat dari mereka memaksa, tetap tidak akan Rasul saw. izinkan kecuali jika memang Ali hendak memilih dia daripada Fatimah.[27]
            Jadi, menurut penulis, yang menjadi dasar monogami adalah apa yang diprktekan oleh Rasulullah SAW. bersama Khadijah RA. bukan dari kisah rumah tangga Ali dengan Fatimah ini. Dari pemaparan di atas justeru kisah ini berbicara poligami.

BAB III
PENUTUP
Dari beberapa pemaparan singkat di atas, dapat kita simpulakan bahwa pada dasarnya pernikahan adalah monogami, bukan poligami.[28] Ini bisa kita lihat juga dari apa yang sudah dipraktekan oleh Rasulullah SAW.  selama berumah tangga dengan Khadijah RA. Beliau baru poligami setelah wafatnya istri pertama beliau ini. Itu pun karena alasan yang memang mengharuskan demikian.
Praktek monogami yang telah Rasulullah SAW. jalankan bisa kita tinjau dari hadits –yang sanad dan matannya- sudah kita sebutkan pada pembahasan sebelumnya, tentunya juga didukung oleh kajian sejarah dan lain-lain. Dan yang pasti juga bahwa apa yang beliau praktekan terkait monogami merupakan rekontruksi sosial ketika itu. Artinya, beliau monogami justeru saat pada umur yang terbilang masih muda dan kuat, di tengah-tengah praktek poligami, padahal andai beliau mau, tentunya lebih bisa untuk melakukan. Tetapi kenyataannya beliau poligami pada saat usia mulai senja, itu pun mayoritas janda tua, dan yang masih perawan hanya seorang saja.
Sedangkan untuk kasus ‘Ali bin Abi Thalib dengan Fatimah menurut penulis lebih tepatnya dijadikan dasar tentang poligami bukan monogami itu sendiri, dengan alasan yang sudah penulis sampaikan pada bab sebelumnya.


(* Ditulis oleh: Miski M.



DAFTAR PUSTAKA
al-‘Aini, ‘Umdah al-Qari. Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, tt.
al-‘Asqalani, Ibnu Hajar. Fath al-Bari. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379.
­___________________ Tahdzib al-Tahdzib. Beirut: Dar al-Fikr, 1984.
al-Haj, Hani. Terkadang Istri Satu  tidak Cukup. Yogyakarta: Gudang Ilmu, 2009.
al-Hakim. Mustadrak ala al-Shahihain. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1990.
al-Mizzi. Tahdzib al-Kamal. Beirut: Muassasah al-Risalah, 1980.
al-Shabuni, Muhammad Ali. Rawai’ al-Bayan. Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2001.
Ridla, Muahmmad Rasyid. Tafsir al-Manar. al-Hai’ah al-Mishriyah, 1990.
al-Thabari. Khulashah Siari Sayyid al-Mursalin (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Nazzar (?) Musthafa al-Baz, 1997.
al-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah. Damaskus: Dar al-Fikr, tt.
Bin Hambal, Ahmad. Musnad Ahmad. al-Risalah, 2001.
Ibnu ‘Asakir. Tarikh Damisyq. Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
‘Itr, Nuruddin. ‘Ulumul Hadits terj. Drs. Mujiyo. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012.
Khalil, Mahmud Muhammad. dkk, al-Musnad al-Jami’. Beirut: Dar al-Jail, 1993.
Shiddiqi, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits edit. HZ. Fuad Hasbi al-Shiddiqi. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
 “Bentuk Perkawinan Menurut Jumlah Istri/Suami” dalam http://organisasi.org/macam-jenis-bentuk-perkawinan-pernikahan-poligini-poliandri-endogami-eksogami-dll diakses pada 21 Maret 2012, pukul: 8.03



[1] “Bentuk Perkawinan Menurut Jumlah Istri / Suami” dalam http://organisasi.org/macam-jenis-bentuk-perkawinan-pernikahan-poligini-poliandri-endogami-eksogami-dll diakses pada 21 Maret 2012, pukul: 8.03
[2] Ada beberapa ayat dalam al-Quran yang seringkali dijadian dasar atau topangan terkait pembahasan ini, khususnya QS. Al-Nisa: 3:

÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? Îû 4uK»tGuø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/âur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9Ï÷ès? ¸oyÏnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ  

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” QS. Al-Nisa: 3.

Hanya saja, penulis sengaja tidak menyinggung sama sekali di atas pada tulisan ini disebabkan bahwa ayat di atas juga diperguanakan oleh para pendukung poligami untuk menguatkan pendapat mereka. Jadi, dengan pertimabangan agar tidak terlalu memperluas isu-isu kontroveersial, maka penulis mencukupkan saja pada kajian haditsnya saja.
[3] Matan secara etimologi adalah permukaan jalan, tanah yang keras dan tinggi. Dalam ilmu hadits, matan berarti penghujung sanad (Lihat Hasbi al-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits edit. HZ. Fuad Hasbi al-Shiddiqi, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009, hlm. 148).
[4] Hasbi al-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits edit. HZ. Fuad Hasbi al-Shiddiqi (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 147.
[5] Sebagaiman dikutip oleh Nuruddin ‘Itr dalam ‘Ulumul Hadits terj. Drs. mujiyo (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 359-360.
[6] Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), XII, hlm. 384-385
[7] Lihat Hasbi al-Shiddiqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, hlm. 147; Nuruddin ‘Itr dalam ‘Ulumul Hadits, hlm. 359-360.
[8] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1980), XX, hlm. 11-16
[9] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, XXVI, hlm. 420-443
[10] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, XXVII, hlm. 303-313
[11] Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, X, hlm. 218-220
[12] Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, VI, hlm. 278-282
[13] Al-Mizzi, Tahdzib al-Kamal, XVIII, hlm. 524
[14] Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Tahdzib al-Tahdzib, VI , hlm. 403
[15] Al-Hakim, Mustadrak ala al-Shahihain (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1990) III, hlm. 200 no. Hadits 4837,  lihat juga Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Damisyq (Beirut: Dar al-Fikr, 1995) III, hlm. 193
[16] Al-Thabari, Khulashah Siari Sayyid al-Mursalin (Makkah al-Mukarramah: Maktabah Nazzar (?) Musthafa al-Baz, 1997), hlm. 38
[17] Lihat pernyataan dari al-Hakim dalam al-Mustadrak al al-Shahihain, III, 201  no. Hadits 4838
[18] Al-Thabari, Khulashah Siari Sayyid al-Mursalin, hlm. 39
[19] Sebagaimana disebutkan oleh Hani al-Haj dalam Terkadang Istri Satu  tidak Cukup (Yogyakarta: Gudang Ilmu, 2009), hlm. 52
[20] Muahmmad Rasyid Ridla, Tafsir al-Manar (al-Hai’ah al-Mishriyah, 1990), IV hlm. 287
[21] Muhammad Ali al-Shabuni,  Rawai’ al-Bayan (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 2001), I 337
[22] Lihat Mahmud Muhammad Khalil dkk, al-Musnad al-Jami’ (Beirut: Dar al-Jail, 1993), XV hlm. 160-161.
[23] Lihat Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad (al-Risalah, 2001), XXXI, hlm. 241
[24] Lihat Mahmud Muhammad Khalil, al-Musnad al-Jami’, XV hlm. 158-160.
[25] Sebagaimana dikutip oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dalam Fath al-Bari (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379), IX hlm. 328-329
[26] Al-‘Aini, ‘Umdah al-Qari (Beirut: Dar Ihya’ al-‘Arabi, tt), XV hlm. 34

[28] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh ala al-Madzahib al-Arba’ah (Damaskus: Dar al-Fikr, ) IX hlm. 8