Engkau tak perlu tahu, bahan dasar dari Beranda sederhana ini adalah cinta yang sedang menyala... Duduklah dengan tenang, sampai terasa nyaman, kami hampar alasnya dengan segenap ketulusan. Rasakan sejuknya, kami mengolahnya lengkap dengan kerinduan panjang yang tak sempat terkatakan.. Segala daya telah diupayakan, dan engkau tak perlu tahu, bahwa kami siapkan semua ini di atas altar kemesraan untuk kita... Semoga. Silahkan.. Salam Ukhuwah untuk semua, penuh takdhim, ^_^

HADITS QUDSI

Mengurai Perbedaannya dengan Al-Quran dan Hadits Nabawi

PENDAHULUAN

Hadits merupakan hal yang sentral dalam agama Islam. Makanya, tidak heran apabila pembahasan mengenai hadits juga tergolong mendapat banyak perhatian para ahli, walaupun memang tidak sepesat Al-Qur’an. Merupakan fakta sejarah bagaimana Al-Qur’an didengar dan dihafal oleh sejumlah sahabat besar, bahkan menulisnya pun mendapat perintah langsung dari Rasulullah SAW.[1]

Otentitas hadits mendapat legimitasi dan legalitas dari Allah SWT[2]. Keberadaan hadits diakui sebagai sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an.[3] Secara garis besar, antara fungsinya adalah, menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an, memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal, memberikan taqyid (persyaratan) ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum dan menetapkan hukum atau aturan-aturan yang tidak didapati di dalam Al-Qur’an.

Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa studi tentang hadits juga banyak mendapat perhatian dari para ahli. Pada perkembagan selanjutnya, kita mengenal tokoh-tokoh besar dalam sejarahnya, seperti Imam Al-Bukhari,[4] Muslim,[5] Abu Dawud [6] dan lain-lain. Berkat jasa mereka akhirnya kita bisa memilah dan memilih, membedakan hadits yang shahih [7] dari yang hasan [8] dan dla’if [9] bahkan yang maudlu’[10], yang mutawatir[11] ataupun ahad,[12] dan sebagainya.

Kriteria hadits-hadits yang ada tidak lepas dari perbincangan para ulama. Meski pada masa permulaanya, tentang ilmu hadits yang lebih spesifik belum ditemukan, baru pada pertengahan abad ke-IV dikenal dengan masa pembukuan ilmu hadits.[13]

Diantara pembahasan yang tidak kalah penting seputar hadits adalah pembahasan tentang hadits qudsi. Berangkat dari fakta bahwa hadits qudsi tidak terlalu dibahas panjang-lebar sebagaimana hadits-hadits yang lain, maka pada kesempatan ini penulis mencoba menguraikannya, menjelaskan letak perbedaanya dengan Al-Qur’an dan hadits nabawi, juga contoh-contoh hadits qudsi dalam kutub sittah (kitab induk yang enam), yakni dalam dari shahih Al-Bukhari, shahih Muslim, Jami’ Turmudzi, sunan An-Nasa’i, sunan Abu Dawud dan sunan Ibnu Majah.[14]

A. PENGERTIAN HADITS QUDSI

Hadits qudsi disebut juga dengan hadits ilahi dan hadits rabbani. Secara terminologi, At-Thibi menyatakan, “Hadits qudsi adalah titah Tuhan yang disampaikan kepada Nabi di dalam mimpi atau dengan jalan ilham, lalu beliau menerangkannya dengan susunan perkataan beliau sendiri, tetapi tetap menyandarkannya kepada Allah.” Pada hadits yang lain beliau tidak menyatakan,”Allah berfirman...” [15]

B. AL-QUR’AN DAN HADITS NABAWI

1. Al-Qur’an

Secara etimologi, para ulama berbeda pendapat terkait kata “Al-Qur’an”. Misalnya, Syafi’ie bahwa kata “Al-Qur’an” adalah nama asli dan tidak pernah diambil dari kata lain (musytaq). Menurut Al-Farra’ kata “Al-Qur’an” berasal dari kata “Al-Qara’in” jama’ dari “Qarinah” ayng berarti kawan, sebab ayat-ayat yang terdapat di dalamnya saling membenarkan dan menjadi kawan antara yang satu dengan yang lain. Menurut Al-‘Asy’ari, kata “Al-Qur’an” berasal dari kata “Qaranah” yang berarti menggabungkan, sebab surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur’an itu telah digabungkan antara yang satu dengan yang lain menjadi satu. Menurut Al-Zajjaj, kata “Al-Qur’an” berasal dari kata “Al-Qar’u” yang berarti himpunan dan ternyata Al-Qur’an telah sari pati kitab-kitab suci terdahulu. Menurut Al-Lihyani, kata “Al-Qur’an” berasal dari kata kerja “Qara’a” yang berarti membaca dengan padanan kata fu’lan, namun dengan arti maqru’ yang dalam bahasa Indonesia berarti “yang dibaca” atau “bacaan”.[16]

Secara terminologi, menurut Ali Ash-Shabuni, Al-Qur’an adalah, “Klamullah yang mu’jiz, yang diturunkan kepada nabi dan rasul terakhir denga perantara malaikat Jibril AS. yang ditulis dalam mushaf, disampaikan kepada kita secara mutawatir, dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Nas.[17] Menurut Syekh Mahmud Syaltut, Al-Qur’an adalah lafal Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW., dan disampaikan kepada kita secara mutawatir.[18]Menurut Shubhi Shalih, Al-Qur’an kalam yang mu’jiz (dapat melemahkan orang yang menentangnya) yang diturunkan kepada Nabi (Muhammad) SAW., yang tertulis dalam mushaf yang disampaikan (kepada kita) secara mutawatir, dan membacanya dianggap ibadah.[19] Sedangkan Dr. Sa’id Ramadlan Al-Buthi mendefinisikan Al-Qur’an sebagai, “Lafal Arab yang mu’jiz yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW., yang membacanya dianngap ibadah, dan sampai kepada kita dengan cara mutawatir.”[20]

Selain definisi yang telah disebutkan, sebenarnya masih banyak definisi-definisi yang lain yang masih dapat diterima dan dijadidkan patokan untuk mengetahui pengertian Al-Qur’an. Tetapi beberapa pemaparan di atas, sudah cukup menggambarkan sifat esensial Al-Qur’an, sekaligus ciri khas yang membedakannya dengan kitab-kitab lain: pertama, Al-Qur’an adalah kalam (firman) Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW; kedua, Kalam Allah tersebut diturunkan melalui Malaikat Jibriil AS; ketiga, diturunkan dalam bahasa Arab, baik lafal maupun maknanya; keempat, disampaikan kepaada kita asecara mutawatir.[21]

2. Hadits Nabawi

Secara etimologi, hadits adalah jadid, lawan dari qadim, yang berarti baru. Atau bisa juga bermakana qarib yang berarti dekat/belum lama terjadi. Bisa juga bermakna khabar, yang berarti warta atau berita.[22]

Sedangkan menurut terminologi, yang dimaksud dengan ‘hadits’ adalah apa saja yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan atau sifat.

Yang berupa perkataan seperti perkataan Nabi SAW: Sesungguhnya sahnya amal itu disertai dengan niat. Dan setiap orang bergantung pada niatnya. HR. Bukhari.

Sedangkan yang berupa perbuatan ialah seperti ajaranya pada sahabat mengenai bagaimana caranya mengerjakan shalat, kemudian ia mengatakan: “Shalatlah seperti kamu melihat aku melakukan shalat.” HR. Bukhari. Juga mengenai bagaimana ia melakukan ibadah haji, dalam hal ini Nabi saw. Berkata: “Ambilah dari padaku manasik hajimu.” HR. Muslim, Ahmad dan An-Nasa’i.

Sedang yang berupa persetujuan ialah seperti beliau menyetujui suatu perkara yang dilakukan salah seorang sahabat, baik perkataan atau pun perbuatan, baik dilakukan di hadapan beliau atau tidak, tetapi beritanya sampai kepadanya. Misalnya mengenai makanan biawak yang dihidangkan kepadanya, di mana beliau dalam sebuah riwayat telah mendiamkannya yang berarti menunjukkan bahwa daging biawak itu tidak haram dimakan.

Dan hadits yang berupa sifat nabi adalah seperti riwayat yang menceritakan sifat-sifatnya seperti Nabi SAW selalu bermuka cerah, berperangai halus dan lembut, tidak keras/kasar, berkata lembut, tidak berkata kotor dan tidak suka mencela.[23]

C. CONTOH HADITS QUDSI DALAM KUTUB SITTAH

1. Shahih Al-Bukhari

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA. beliau berkata, telah bersabda Rasulullah SAW., “Sesungguhnya Allah 'azza wa jalla berfirman, ‘Siapa yang memusuhi seorang kekasihku, maka Aku menyatakan perang kepadanya, dan tiada mendekat kepadaku seorang hambaku, dengan sesuatu yang lebih kusukai daripada melaksanakan kewajibannya, dan selalu hambaku mendekat kepadaku dengan melakukan sunah – sunah sehingga Aku sukai, maka apabila Aku telah kasih kepadanya, Akulah yang menjadi pendengarannya, dan penglihatannya, dan sebagai tangan yang digunakannya dan kaki yang dijalankannya, dan apabila ia memohon kepadaku pasti kukabulkan dan jika berlindung kepadaku pasti kulindungi.”

2. Shahih Muslim

Dari Abu Dzar Al Ghifari RA. dari Rasulullah SAW. sebagaimana beliau riwayatkan dari Rabbnya Azza Wajalla bahwa Dia berfirman: Wahai hambaku, sesungguhya aku telah mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku telah menetapkan haramnya (kezaliman itu) diantara kalian, maka janganlah kalian saling berlaku zalim. Wahai hambaku semua kalian adalah sesat kecuali siapa yang Aku beri hidayah, maka mintalah hidayah kepada-Ku niscaya Aku akan memberikan kalian hidayah. Wahai hambaku, kalian semuanya kelaparan kecuali siapa yang aku berikan kepadanya makanan, maka mintalah makan kepada-Ku niscaya Aku berikan kalian makanan. Wahai hamba-Ku, kalian semuanya telanjang kecuali siapa yang aku berikan kepadanya pakaian, maka mintalah pakaian kepada-Ku niscaya Aku berikan kalian pakaian. Wahai hamba-Ku kalian semuanya melakukan kesalahan pada malam dan siang hari dan Aku mengampuni dosa semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku niscaya akan Aku ampuni. Wahai hamba-Ku sesungguhnya tidak ada kemudharatan yang dapat kalian lakukan kepada-Ku sebagaimana tidak ada kemanfaatan yang kalian berikan kepada-Ku. Wahai hamba-Ku seandainya sejak orang pertama diantara kalian sampai orang terakhir, dari kalangan manusia dan jin semuanya berada dalam keadaan paling bertakwa diantara kamu, niscaya hal tersebut tidak menambah kerajaan-Ku sedikitpun . Wahai hamba-Ku seandainya sejak orang pertama diantara kalian sampai orang terakhir, dari golongan manusia dan jin diantarakalian, semuanya seperti orang yang paling durhaka diantara kalian, niscaya hal itu tidak mengurangi kerajaan-Ku sedikitpun juga. Wahai hamba-Ku, seandainya sejak orang pertama diantara kalian sampai orang terakhir semunya berdiri di sebuah bukit lalu kalian meminta kepada-Ku, lalu setiap orang yang meminta Aku penuhi, niscaya hal itu tidak mengurangi apa yang ada pada-Ku kecuali bagaikan sebuah jarum yang dicelupkan di tengah lautan. Wahai hamba-Ku, sesungguhnya semua perbuatan kalian akan diperhitungkan untuk kalian kemudian diberikan balasannya, siapa yang banyak mendapatkan kebaikan maka hendaklah dia bersyukur kepada Allah dan siapa yang menemukan selain (kebaikan) itu janganlah mencela kecuali dirinya. Diriwayatkan oleh Imam Muslim

3. Jami’ Turmudzi

Diriwayatkan dari Anas RA., beliau berkata, aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda, Allah SWT., berfirman, “Wahai anak cucu Adam, sesungguhnya bagimu apa yang kamu pintakan kepada-Ku dan kamu mohonkan kepada-Ku, Aku mengampunimu atas apa yang ada padamu dan aku tidak memperdulikannya (berapa besar dan banyak dosa yang ada padamu), wahai anak Adam, seandainya engkau datang dengan dosa-dosamu sebanyak awan di langit, kemudian engkau memohon ampunan-Ku, maka Aku mengampunimu. Wahai anak cucu Adam, sesungguhnya seandainya engkau datang kepada-Ku dengan dosa sepenuh bumi, kemudian engkau menemui-Ku dengan tanpa menyekutukan-Ku sama sekali, maka Kutemui engkau dengan ampunan sejumlah itu pula”.

4. Sunan An-Nasa’i

Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir RA. beliau berkata, aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda, Tuhanmu bangga terhadap seorang pengembala kambing, yang berada di atas gunung/bukit, dia mengumandangkan adzan untuk sholat dan mengerjakan sholat, kemudian Allah 'azza wa jalla (Yang Maha Perkasa dan Maha Luhur) berfirman, 'Lihatlah hambaku ini, dia mengumandangkan adzan dan menegakkan sholat (iqomat) karena takut kepada-Ku, maka sesungguhnya Aku telah mengampuni hamba-Ku ini, dan Aku akan memasukkannya kedalam surga

5. Sunan Abu Dawud

Abu Qatadah bin Rib'i berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: Telah berfirman Allah yang Maha Tinggi: "Sesungguhnya Aku telah mewajibkan kepada umatmu shalat lima waktu, dan Aku telah membuat perjanjian di sisi-Ku bahwasanya barangsiapa datang dengan menjaganya sesuai dengan waktunya, maka Aku akan memasukkannya ke surga. Dan barangsiapa tidak menjaganya, maka tidak ada janji baginya di sisi-Ku."

6. Sunan Ibnu Majah

Abu Sa'id RA. berkata, Rasulullah SAW. telah bersabda, Janganlah salah seorang mencela dirinya sendiri.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana seseorang mencela dirinya sendiri?” Beliau menjawab: “Dia melihat perkara Allah diperbincangkan, lalu dia tidak mengatakan (pembelaan) kepadanya, maka Allah ‘azza wajalla akan berkata kepadanya kelak di hari Kiamat; ‘Apa yang mencegahmu untuk mengatakan begini dan begini! ‘ lalu ia menjawab, ‘Saya takut terhadap manusia’. Maka Allah pun berfirman: ‘Aku lebih berhak untuk kamu takuti.’

PENUTUP

Dari beberapa pemaparan di atas sudah bisa disimpulkan terkait definisi dari hadits qudsi, juga perbedaan antara hadits qudsi dengan Al-Qur’an, yang secara sederhananya sebagaimana berikut:

a. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dengan lafadnya, dan dengan itu pula orang arab ditantang, tetapi mereka tidak mampu membuat seperti Al-Qur’an itu meskipun hanya sepuluh surat atau bahkan satu surat sekalipun. Tantangan itu tetap berlaku karena Al-Qur’an adalah mu’jizat yang abadi hingga hari kiamat. Sedangkan hadits qudsi tidak untuk menantang dan tidak pula untuk mu’jizat.

b. Seluruh isi Al-Qur’an dinukil secara mutawatir (diriwayatkan oleh orang banyak), sehingga kepastiannya sudah mutlak. Sedangkan hadits qudsi kebanyakan adalah khabar ahad (diriwayatkan oleh satu orang saja) sehingga kepastiannya masih merupakan dugaan, sehingga ada kalanya hadits qudsi itu shohih, terkadang hasan (baik) dan terkadang dho’if (lemah).

c. Al-Qur’an dari Allah baik lafad maupun maknanya. Maka ia adalah wahyu baik dalam lafad maupun maknanya. Sedangkan hadits qudsi, maknanya dari Allah dan lafad/redaksionalnya dari Rasulullah, sehingga hadits qudsi itu adalah wahyu dalam makna tetapi bukan dalam lafadnya. Oleh karena itu, menurut sebagian besar ahli hadits, diperbolehkan meriwayatkan hadits qudsi dengan maknanya saja.

d. Membaca Al-Qur’an merupakan ibadah, karena itu ia dibaca di dalam shalat. Hadits qudsi tidak disuruh membacanya di dalam shalat. Allah memberikan pahala membaca hadits qudsi secara umum saja, maka membaca hadits qudsi tidak memperoleh pahala seperti yang disebutkan dalam hadits mengenai pahala membaca Al-Qur’an, bahwa pada setiap huruf dari bacaan Al-Qur’an memperoleh sepuluh kebaikan.

Sedangkan perbedaannya dengan hadits nabawi adalah bahwa hadits qudsi itu bersifat tauqifi sedangkan hadits nabawi itu bersifat taufiqi. Tauqifi maksudnya adalah secara makna/kandungan isinya berasal dari wahyu Allah namun redaksionalnya disusun oleh Rasulullah dengan kata-katanya sendiri. Sementara yang dimaksud dengan taufiqi adalah baik secara makna/kandungan isinya maupun redaksionalnya, kedua-duanya berasal dari Rasulullah. Maknanya disimpulkan oleh Rasulullah berdasarkan pemahamannya terhadap Al-Qur’an karena nabi bertugas menjelaskan Al-Qur’an dan menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian kesimpulan yang bersifat ijtihad ini diperkuat oleh wahyu bila ia benar dan bila ternyata ijtihadnya salah maka turunlah wahyu yang membetulkannya.[24]


Daftar Pustaka

Athaillah. 2010. Sejarah Al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Khalil, Manna’ Al-Qattan. 2011. Mabahits fi Ulum Al-Qur’an. Riyadl: Mansyurat Al-‘Asr Al-Hadits. edisi terjemah oleh Drs. Mudzakkir AS., Jakarta:Pustaka Litera AntarNusa.

Ali, Muhammad Ash-Shabuni. 2003. At-Tibyan fi Ulum Al-Qur’an. Dar Al-Kitab Al-Islamiyah.

As-Siddieqy, M. Hasbi. 2009. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadit., Jakarta:Pustaka Rizki Putra.

Syamsuddin, Fattah. Tt. Al-Madkhal ila Ilmi Al-Hadits. Tp.



[1] M. Hasbi As-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Pustaka Rizki Putra, Jakarta, cet. I 2009, hal. 129.

[2] Lihat QS. An-Nisa’ (4): 80, 59, 64 juga QS. Al-Ahzab (33): 21, QS. Ali Imran ayat (3) 31, QS. Al-Hasyr (59): 7, An.-Nur (24): 63, dan lain-lain.

[3] Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Dawud dan At-Tirmidzi, bahwa Rasulullah SAW. ketika mengutus Mu’adz pergi ke Yaman, beliau bersabda: “Dengan apa engkau memutuskan hukum?” Mu’adz menjawab: “Dengan Kitab Allah.” Beliau bertanya lagi:” Jika engkau tidak mendapati di dalamnya?” Mu’adz menjawab: “Dengan sunnah Rasulullah.” Beliau kembali bertanya: “Kalau engkau tidak mendapati di dalamnya?” Mu’adz menjawab: “Aku berijtihad.”.......

[4] Abu Abdilllah, Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al-Mughirah Al-Ja’fy. Beliau dilahirkan di Bukhara, sebagai anak yatim pada malam ‘idul Fitri tahun 194 H/810 M. dan wafat pada tahun 296 H./870 M. Beliau adalah orang pertama yang menyusun kitab sahih, yang kemudian jejaknya diikuti oleh generasi berikutnya. Kitab sahih ini diselesaikan dalam kurun waktu 16 tahun dan diberi nama Al-Jami’ as-Shahih al-Musnad min Ahadits Rasul SAW. Diantara karangan beliau yang lain adalah: Al-Adab al-Mufrad, Al-Mabsuth, Asyribah, Al-‘ilal, at-Tarikh al-Kabir, at-Tarikh ash-Shaghir.

[5] Abu al-Husain, Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusyary An-Naisabury, salah seorang imam hadits yang terkemuka, lahir pada tahun 206 H. Dan wafat pada tahun 261 H.

[6] Abu Dawud, Sulaiman bin Asy’ats bin Syidad bin Amar bin Amir As-Sijistani, seorang ulama hadits yang telah menyusun kitabnya, As-Sunan, mengumpulkan hadits-hadits hukum. Dilahirkan di Bashrah pada tahun 202 H. Dan wafat pada tahun 275 H.

[7] Hadits yang diriwayatkan secara berkesenambungan dari satu rawi keapda rawi lainnya, setiap rawi memiliki sifat adil (Al-‘adil) dan kuat ingatannya (Adl-Dlabth), haditsnya tidak aneh dan tanpa cacat.

[8] Hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan kuat ingatannya, tetapi masih di bawah tingkat kekuataan perawi hadits shahih. Jadi, hadits hasan sama dengan hadits shahih, yang membedakan hanyalah tingkat dlabthnya saja.

[9] Hadits yang tidak memenuhi kriteria hadits shahih ataupun hasan.

[10] Khabar yang direkayasa dan dipalsukan,sehingga seolah-olah berasal dari Rasulullah SAW, baik dengan tujuan baik, maupun ingin merusak Islam dari dalam.

[11] Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang perawi secara berkesinambungan dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang secara logika dan kebiasaan, banyaknya jumlah perawi pada masing-masing generasi tidak memungkinkkan mereka sepakat berdusta.

[12] Hadits yang diriwayatkan oleh sebuah generasi kepada genersi berikutnya, tetapi jumlah perawinya tidak sebanyak perawi dalam hadits mutawatir. Dari hadits ahad inilah kita mengenal pembaigian hadits shahih, hasan, dla’if dan lain sebagainya. Berbeda sekali dengan hadits mutawaatir, yang nilai kebenarannya tidak bisa terbantahkan (dlarury).

[13] Fattah Syamsuddin, Al-Madkhal ila Ilmi Al-Hadits, tp, tt, hal. 3

[14] Memasukkan sunan Ibnu Majah dalam kategori kutub sittah ini berdasarkan pada pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Thahir, yang kemudian diikuti oleh Abdul Ghani Al-Maqdisi, kemudian Al-Mizzi, dan Ibnu Hajar Al-Khazraji. Sedangkan Razin dan Ibnu Atsir memilih Al-muwattha’ karya Imam Malik sebagai ganti dari Ibnu Majah, sementara ulama yang lain memilih sunan Ad-darimi, yang lain lagi memilih Al-Muntaqa, karya Ibnu Jaruid.

[15] M. Hasbi As-Siddieqy, Op. Cit. Hal. 18

[16] ‘Athaillah,M.Ag, Sejarah Al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Yoyakarta, 2010 hal. 12

[17] Muhammad Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan fi Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Kitab Al-Islamiyah, 2003, hal. 8

[18] ‘Athaillah, M.Ag, Op. Cit. Hal. 14

[19] Ibid. Hal. 14

[20] Ibid. Hal. 15

[21] Ibid. Hal. 16-17

[22] M. Hasbi As-Siddieqy, Op. Cit. Hal. 3

[23] Manna’ Khalil Al-Qattan, Mabahits fi Ulum Al-Qur’an, Mansyurat Al-‘Asr Al-Hadits, Riyadl, edisi terjemah oleh Drs. Mudzakkir AS., Pustaka Litera AntarNusa, Jakarta, 2011, hal. 23-24

[24] Ibid. hal. 26-28

0 comments:

Posting Komentar

Bismillah...