Perkembangan dan Sumbangannya dalam bidang Ilmu Pengetahuan
Agama dan Sains
Pendahuluan
“Mereka yang tidak memahami sejarah, akan dikibuli oleh dongeng.” Demikian kata Sanihu Munir. Ungkapan singkat, tetapi padat dan sarat makna. Begitulah. Sejarah memang sangat penting, tanpa terkecuali sejarah kebudayaan Islam, sebagai kaca perbandingan pada masa sekarang dan selanjutnya, atau minimal sebagai khazanah pengetahuan yang akan menambah wawasan kita.
Secara garis besar, sejarah perkembangan dan pertumbuhan dunia Islam dapat kita bagi pada tiga periode, Pertama: Periode Abad Klasik (650-1250 M), Kedua: Periode Abad Pertengahan (1250-1800), Ketiga: Periode Abad Modern (1800-sekarang).
Pada kesempatan ini kita akan membahas tentang sejarah kebudayaan Islam pada Periode Abad Klasik-Abad Pertengahan, yang lebih spesifik lagi seputar Dinasti Umawiyah di Andalusia, tentunya, terkait perkembangan Islam, ilmu pengetahuan dan sains, bukan masalah peradaban lain, seperti pembangunan fisik dan lain sebgainya, kecuali sebagian kecil, guna melengkapi, atau sekedar penguat saja.
Berbicara tentang Andalusia, terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa memimpin satuan-satuan pasukan ke sana. Mereka adalah Tharif bin Malik, Thariq bin Ziyad, dan Musa bin Nushair.
“Gibraltar” atau “Jabal al-Thariq” merupakan bukti sejarah akan kesuksean ekspedisi di Andalusia pada waktu itu (711 M). Penaklukan yang dilakukan oleh umat Islam pada permulaan abad ke VIII membuka lembaran baru bagi kejayaan peradaban di sana.
Perkembangan Islam di Andalusia
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Andalusia hingga jatuhnya kerajaan Islam terakhir di sana, Islam memainkan peranan yang sangat besar. Masa itu berlangsung lebih dari tujuh setengah abad, yang dapat dibagi menjadi enam periode.
Namun, dalam pemerintahan dinasti Umawiyah, secara garis besar dibagi menjadi dua masa, pertama: Andalusia berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh Khalifah Dinasti Umawiyah yang berpusat di Damaskus. Pada periode ini stabilitas politik negeri Andalusia belum tercapai secara sempurna, gangguan-gangguan masih terjadi, baik datang dari dalam maupun dari luar. Kedua: pemerintahan dinasti Umawiyah di Andalusia sebagai kekhalifahan tersendiri yang beribu kota di Kordova. Pada masa ini mula-mula Andalusia berada di bawah pemerintahan seorang yang bergelar amir (panglima atau gubernur) tetapi tidak tunduk kepada pusat pemerintahan Islam, yang ketika itu dipegang oleh khalifah Abbasiyah di Baghdad, kemudian berubah pemerintahan yang dipegang oleh seorang penguasa yang bergelar khalifah. Sistem kekhalifahan ini berlangsung mulai dari pemerintahan Abdurrahman III yang bergelar An-Nasir sampai munculnya "raja- raja kelompok" yang dikenal dengan sebutan Muluk al-Thawaif.
Sejarah mengakui bahwa sewaktu Andalusia ditaklukan, tingkat peradabannya begitu rendah dan keadaan pada umumnya sangat menyedihkan. Maka, tidak heran apabila saat itu umat Islam lebih banyak mengajar daripada belajar. Hingga pada suatu masa, di mana Andalusia berada di bawah kekuasaan Dinasti Umawiyah, mencapai puncak kejayaan pada masa Abdurrahman III (912-961) dan Al-Hakam II (961-976) yang memproklamirkan diri sebagai khalifah. Namun, keagungan periode ini terletak dalam bidang keilmuan, bukan politik. Secara lebih detail, Philip K. Hitti menggambarkan Al-Hakam II:
“....adalah seorang sarjana dan pendukung ilmu pengetahuan. Ia mamberikan banyak hadiah kepada para sarjana, dan mendirikan 27 sekolah gratis di ibukota. Di bawah kekuasaanya, Universitas Kordova – didirikan di masjid utama oleh Abdurrahman III – berkembang dan meraih keunggulan di antara lembaga-lembaga pendidikan di dunia. Ia mendahului al-Azhar di Kairo dan Nidhamiyah di Baghdad, juga menarik minat para siswa, Kristen dan Muslim, tidak hanya dari Andalusia, tapi juga dari wilayah-wilayah lain di Eropa, Afrika dan Asia....
Selain Universitas, ibukota juga memiliki sebuah perpustakaan paling besar. Al-Hakam adalah seorang pecinta buku. Para pegawainya menjelajahi semua toko buku di Iskandariyah, Damaskus dan Baghdad, untuk membeli atau menyalin berbagai naskah....”
Jadi, bukan hanya usaha perluasan wilayah saja yang dilakukan, melainkan juga
pengembangan seni, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan. Hal ini dapat terlaksana karena adanya kerja sama dengan negeri-negeri tetangga, termasuk dinasti Abbasiyah yang semula menjadi musuh mereka. Letak Andalusia
yang berada di benua Eropa memungkinkan berkembangnya ilmu pengetahuan ke
berbagai wilayah Eropa. Intinya, melalui dunia Islam-lah mereka mendapat akses untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan modern.
Sebelum Islam datang, menurut Gustav Le Bon, Eropa berada dalam kondisi kegelapan, tak satupun bidang ilmu yang maju bahkan lebih percaya pada takhayul. Menurut George Barton, ketika dunia Barat sudah cukup masak untuk merasakan perlunya ilmu pengetahuan yang lebih dalam, perhatiannya pertama-tama tidak ditujukan kepada sumber-sumber Yunani, melainkan kepada sumber-sumber Arab. Oliver Leaman menggambarkan kondisi kehidupan intelektual di sana sebagai berikut:
“….pada masa peradaban agung [wujud] di Andalus, siapapun di Eropa yang ingin mengetahui sesuatu yang ilmiyah ia harus pergi ke Andalus. Di waktu itu banyak sekali problem dalam literatur Latin yang masih belum terselesaikan, dan jika seseorang pergi ke Andalus maka sekembalinya dari sana ia tiba-tiba mampu menyelesaikan masalah-masalah itu. Jadi Islam di Andalusia mempunyai reputasi selama ratusan tahun dan menduduki puncak tertinggi dalam pengetahuan filsafat, sainss, tehnik dan matematika. Ia mirip seperti posisi Amerika saat ini, dimana beberapa universitas penting berada”.
Pengakuan serupa juga disampaikan oleh William Drapper:
“Pada zaman itu Ibu Kota pemerintahan Islam di Kordova merupakan kota paling beradab di Eropa, 113.000 buah rumah, 21 kota satelit, 70 perpustakaan dan toko-toko buku, masjid-masjid dan istana yang banyak. Kordova menjadi mashur di seluruh dunia, dimana jalan yang panjangnya bermil-mil dan telah dikeraskan diterangi dengan lampu-lampu dari rumah-rumah di tepinya. Sementara kondisi di London 7 abad sesudah itu (yakni abad 15 M), satu lampu umumpun tidak ada. Di Paris berabad-abad sesudah zaman Kordova, orang yang melangkahi ambang pintunya pada saat hujan, melangkah sampai mata kakinya ke dalam lumpur”.
Awal dari kehancuran dinasti Umawiyah di Andalusia adalah ketika Hisyam naik tahta dalam usia sebelas tahun. Pada masa itu kekuasaan aktual berada di tangan para pejabat. Pada tahun 981 M, Khalifah menunjuk Ibn Abi Amir sebagai pemegang kekuasaan secara mutlak. Dia seorang yang ambisius yang berhasil menancapkan kekuasaannya dan melebarkan wilayah kekuasaan Islam dengan menyingkirkan rekan-rekan dan saingan-saingannya. Atas keberhasilan-keberhasilannya, ia mendapat gelar al-Manshur Billah. Ia wafat pada tahun 1002 M dan digantikan oleh anaknya al-Muzaffar yang masih dapat mempertahankan keunggulan kerajaan. Akan tetapi, setelah wafat pada tahun 1008 M, ia digantikan oleh adiknya yang tidak memiliki kualitas bagi jabatan itu. Dalam beberapa tahun saja, negara yang tadinya makmur dilanda kekacauan dan akhirnya kehancuran total. Pada tahun 1009 M khalifah mengundurkan diri.
Beberapa orang yang dicoba untuk menduduki jabatan itu tidak ada yang sanggup memperbaiki keadaan. Akhirnya pada tahun 1013 M, Dewan Menteri yang memerintah Kordova menghapuskan jabatan khalifah. Ketika itu, Andalusia sudah terpecah dalam banyak sekali negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu.
Kemajuan Dunia Pengetahuan Agama, Intelektual dan Sains
Pendidikan di Andalusia meluas, sampai ke berbagai pelosok. Sehingga tidak heran apabila sebagian besar umat Islam bisa membaca dan menulis. Kemampuan baca tulis Al-Quran, serta tata bahasa dan puisi arab merupakan pendidikan dasar, sebagaimana negara Islam lainnya. Sedangkan pendidikan yang lebih tinggi difokuskan pada tafsir Al-Quran, teologi, filsafat, tata bahasa Arab, leksikografi, sejarah dan geografi. Beberapa kota penting, seperti Sevilla, Malaga, Granada dan Kordova memiliki universitas. Bahkan, Universitas Kordova memiliki beberapa jurusan, seperti astronomi, matematika dan kedokteran, sebagai tambahan untuk jurusan teologi dan hukum.
Masing-masing universitas, memiliki perpustakaan yang berdampingan dengan gedung universitas tersebut, tanpa terkecuali universitas yang di Kordova, yang pembangunannya dipeloori oleh Muhammad I (852-886) kemudian diperluas oleh Abdurrahman III, lalu menjadi perpustakaan terbesar dan terbaik ketika Al-Hakam II menyumbangkan koleksi pribadinya, bahkan pada masa ini, beberapa orang, termasuk beberapa wanita, mempunyai koleksi buku pribadi. Selain itu, Andalusia merupakan negeri yang subur, mendatangkan pengahsilan ekonomi yang tinggi, yang pada gilirannya banyak melahirkan para intelek dan cendekiawan besar.
Masyarakat Andalusia adalah masyarakat majemuk, yang terdiri dari berbagai komunitas: Arab (Utara dan Selatan), Al-Muwalladun (Orang-orang Andalusia yang masuk Islam), Barbar (umat Islam yang berasal dari Afrika Utara), Ash-Shaqalibah (penduduk daerah antara Kostantinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman, yang kemudian dijual kepada penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran), Yahudi, Kristen Muzareb, yang berbudaya Arab dan Kristen yang masih menentang Islam.
Semua ini menjadi bagian dari beberapa faktor utama kemajuan dunia pengetahuan agama, intelektual, sains dan berbagai kebudayaan penting lainnya. Banyak prestasi yang berhasil mereka torehkan dalam pentas sejarah dunia, bahkan pengaruhnya membawa Eropa, dan kemudian dunia, pada kemajuan yang lebih kompleks.
Berikut ini beberapa contoh kemajuan Andalusia dalam dunia intelektual dan sains, yang masih terekam kuat dalam sejarah:
Fikih
Dalam bidang fikih, muslim Andalusia dikenal penganut madzhab Maliki, diperkenalkan oleh Ziyad bin Abdurrahman. Perkembangan selanjutnya oleh Yahya bin Yahya (w. 849), seorang qhadli pada masa Hisyam bin Abdurrahman, dari suku Mashmudah, murid dari Imam Malik bin Anas di Baghdad (Ini penulis temukan dalam buku, HISYORY OF THE ARABS. Padahal, harusnya Imam Malik ini di Madinah. sebgaimana disebutkan oleh beberapa literatur yang lain). Madzhab Malik begitu tertanam kuat di kawasan ini, sehingga orang-orang di sana terbiasa mengatakan: “Kami tidak mengenal karya lain, kecuali Kitab Allah dan Muwaththa’ Malik.”
Selain dua tokoh di atas, yang juga dikenal sebagai tokoh fikih ada Ibnu Rusyd (1126-1198) dengan karyanya, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid, Abu Bakar bin Al-Quthiyah, Munzir bin Sa'id Al-Baluthi Ibnu Hazm (994-1064), dan lain-lain.
Filsafat dan Tasawuf
Konon, keagungan pengabdian Islam di Andalusia terletak pada filsafatnya. Islam di Andalusia telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian dalam bentangan sejarah Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-XII.
Tokoh utama pertama dalam sejarah filsafat Arab-Andalusia adalah Abu Bakar Muhammad bin Al-Sayigh yang lebih dikenal dengan Ibn Bajjah (Avenpace, Avempace). Dilahirkan di Saragossa, ia pindah ke Sevilla dan Granada. Meninggal karena keracunan di Fezzan tahun 1138 M dalam usia yang masih muda. Seperti Al-Farabi dan Ibn Sina di Timur, masalah yang dikemukakannya bersifat etis dan eskatologis. Magnum opusnya adalah Tadbir al-Mutawahhid (Rezim yang sendirian). Dia adalah seorang filosuf, dokter dan mahir dalam bidang seni musik, sekaligus komentator tentang pemikiran Aristoteles, dan sudah menulis beraneka karya dalam bidang-bidang tersebut. Menurutnya, seseorang yang melatih nalarnya secara sempurna, akan sampai pada kebenaran, walau pun tanpa bimbingan wahyu atau perantara lainnya.
Tokoh utama kedua adalah Abu Bakar bin Thufail, penduduk asli Wadi Asy, sebuah dusun kecil di sebelah timur Granada dan wafat pada usia lanjut tahun 1185 M. Ia banyak menulis masalah kedokteran, astronomi dan filsafat. Karya filsafatnya yang sangat terkenal adalah Hay bin Yaqdhan (Yang hidup, anak kesadaran). Sama dengan Ibnu Bajjah, menurutnya, manusia dengan kapasitas yang dimilikinya, tanpa bantuan sedikitpun dari luar, tetap akan mampu mencapai pengetahuan tentang dunia yang lebih tinggi, dan secara bertahap akan menemukan ketergantungannya dengan Realitas Puncak. Cerita ini merupakan cerita paling asli dan menghibur pada abad pertengahan, pertama kali diterjemahkan dalam bahasa Latin oleh Edward Pococke (1671), lalu ke dalam sebagian besar bahasa Eropa, termasuk Belanda (1672), Rusia (1920) dan Andalusia (1934).
Bagian akhir abad ke-XII menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibn Rusyd (Averroes) dari Kordova. Ia lahir tahun 1126 M dan meninggal tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama. Dia juga ahli fikih dengan karyanya Bidayah Al-Mujtahid. Pada Tahun 1169-1171 ia menjabat sebagai qadli (hakim agung) di Sevilla, dan dua tahun berikutnya di Kordova. Karya filsafatnya yang paling penting, di samping komentar-komentarnya terhadap pemikiran Aristoteles adalah Tahafut at-Tahafut, sebagai bantahan terhadap serangan Al-Ghazali atas rasionalisme dalam karyanya, Tahafut Al-Falasifah (Kakacauan Filsafat).
Dalam dunia kedokteran, sumbangan yang paling penting adalah karya ensikplodia, yang berjudul Al-Kulliyat fith-Thibb (Generalitas dalam kedokteran). Di dalamnya dia menyatakan bahwa orang yang telah terkena cacar air tidak akan terkena untuk kedua kalinya, dia juga menjelaskan tentang fungsi retina.
Yang terakhir, dan tidak kalah pentingnya adalah Muhyiddin Ibnul Araby (1165-1240), seorang filosuf, sufi spekulatif terbesar dalam sejarah tasawuf, berpengaruh dalam dunia muslim dengan perantara filsafatnya yang berbau mistik, syekh tariqat mistik. Di kalngan sufi dikenal sebagai Syaikhul Akbar,atau sang guru besar. Di antara karyanya yang sangat berpengaruh adalah, Al-Futuhat Al-Makkiyah, Fushul Al-Hikam,dan Al-Isra’ ila Maqam Al-Asra.
Sejarah dan Geografi
Salah seorang sejarawan Andalusia yang paling awal dan paling kondang adalah Abu Bakar bin Umar, yang biasa dikenal dengan sebutan Ibnul Quthiyah (w. 997). Karyanya yang berjudul Tarikh Iftitah Al-Andalus, mengulas sejarah Andalusia mulai dari penaklukan umat Islam sampai pada bagian awal kepemimpinan Abdurrahman III.
Sejarawan lain yang sezaman adalah Marwan Hayyan bin Khalaf (987-1076) dari Kordova. Dia berhasil menulis lebih dari lima puluh judul, satu di antaranya Al-Matin, terdiri dari enam puluh jilid. Sayangnya, cuma ada satu buah karya yang berhasil diselamatkan, yaitu, Al-Muqtabis fi Tarikh Rijal Al-Andalus. Bangsa Andalusia juga melahirkan beberapa penulis biografi, antara lain: Ibnul Faradli (lahir 962) di Andalusia, dengan karyanya, Tarikh Ulama Al-Andalus, Ibnu Basykuwal (1101-1183) dengan karyanya, Ash-Shilah, lahir dan wafat di Kordova, Ibnul Abbar (1199-1260) dengan karyanya, Takmilah li Kitab Ash-Shilah, dari Valencia, Ibnu Yahya (w. 1203), menulis Bughyah Al-Multamis fi Tarikh Rijal Al-Andalus, hidup di kota Mursia.
Selain itu, dalam sejarah ilmu pengetahun kita mendapati buah karya Abul Qasim Sa’id bin Ahmad Al-Andalusi (1029-1070), yang berjudul Thabaqat Al-Umam. Selanjutnya, kita juga mengenal Ibnul Khatib (1313-1374), dengan karya pentingnya tentang sejarah Granada; dan Ibnu Khaldun 1332-1406) dengan Muqaddimahnya, yang pada gilirannya merupakan letak ketenarannya. Dia adalah penemu cabang ilmu sosiologi. Bahkan, tidak ada penulis Arab atau pun Eropa yang pernah meletakkan sudut pandang sejarah yang lebih konprehensif dan filosofis, dan merupakan filosof sejarah terbesar yang pernah dilahirkan Islam sepanjang waktu.
Sedangkan ahli geografi terbaik dan kondang dari abad ke-XI adalah Al-Bakari (w. 1094), seorang Arab Andalusia, hidup dan wafat di Kordova dan karyanya dapat bertahan hinnga kini, dengan judul Al-Masalik wal Mamalik. Pada abad ke-XII, bahkan sepanjang abad Pertengahan adalah Al-Idrisi, seorang turunan bangsawan Arab Andalusia yang mendapatkan pendidikan di Andalusia. Ibn Jubair dari Valencia (1145-1228 M) menulis tentang negeri-negeri muslim Mediterania dan Sicilia dan Ibn Batuthah dari Tangier (1304-1377 M) mencapai Samudera Pasai dan Cina.
Astronomi
Ahli astronomi Andalusia-Arab yang paling awal adalah Abul Qasim Al-Majrit (w. 1007) dari Kordova, Az Zarqali (1029-1087) dari Toledo, dan Ibnu Aflah (w. Antara 1140-1150) dari Sevilla. Sedangkan tokoh terpenting di antara astronom terakhir dari Andalusia adalah Al-Bitruji (Alfetragius, w. -+ 1204). Mereka mendukung sistem astronomi Aristoteles, dan menyerang sistem Ptolemius tentang pergerakan benda-benda angkasa. Baru kemudian pada akhir abad ke-XII, banyak muncul buku terjemahan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Latin, terkait karya Aristoteles dalam bidang astronomi, fisika dan meteorologi, juga geografi.
Kajian tentang astronomi mencapai puncak kejayaan setelah Abad ke-X dan berkembang pesat berkat bantuan khusus dari penguasa Kordova, Sevilla, dan Toledo. Karya utama muslim dalam bidang astronomi diterjemahkan dari bahasa Andalusia pada bahasa Latin. Jadi, skema astronomi Alfonso yang disusun di bawah perintah Alfonso X pada Abad ke-XIII hanyalah pengembangan dari astronomi Arab.
Mayoritas ahli astronomi di Andalusia, seperti halnya Abu Ma’syar dari Baghdad, mempercayai pengaruh bintang sebagai sebab terjadinya berbagai peristiwa penting antara kelahiran dan kematian manusia di dunia. Ilmu tentang pengaruh bintang-bintang ini disebut astrologi. Ini membantu manusia untuk menentukan lokasi berbagai tempat di seluruh dunia, garis lintang dan bujurnya. Dengan demikian, berarti astrologi memberikan sumbangan besar pada kajian astronomi. Namun walaupun begitu, sistem pengembangan astronomi yang dilakukan oleh para ahli astronomi Arab Andalusia masih bersandar pada karya-karya astronomi dan astrologi yang dihasilkan oleh muslim dari Timur.
Selain yang sudah disebutkan, ada Abbas bin Famas termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi, orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu. Begitu pula, Ibrahim bin Yahya An-Naqqash, juga terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia juga berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang.
Pengetahuan Alam dan Kedokteran
Dalam bidang pengetahuan alam yang terkait dengan ilmu botani murni dan terapan juga kedokteran, jasa-jasa Umat Islam Andalusia tidak kalah menarik perhatian. Layaknya dalam bidang astronomi dan matematika, mereka memperkaya dunia dengan berbagai penelitian.
Menurut Dr. Amir Hasan As-Siddiqi, dalam bidan botani murni dan terapan, umat Islam Andalusia bisa mengungguli pesainsgnya, muslim timur. Lebih lanjut dia menjelaskan:
“...Mereka mengumpulkan tanaman-tanaman di Andalusia dan Afrika utara, dan memberinya nama-nama Arab, Latin dan Bar-bar secara layak, mengelompokkan dan mengadakan pengamatan yang teliti.... Dalam karyanya yang menonjol dalam bidang pertanianm berjudul, Al-Filahah, Abu Zakariya sibuk dengan 585 tumbuh-tumbuhan dan menerangkan pemeliharaan lebih dari 50 pohon buah-buahan. Seorang muslim ahli botani dan obat-obatan terbesar ialah Ibnu Baytar (w. 1248), yang mempunyai berjilid-jilid Al-Jami’fi Al-Adwiyat Al-Muadah, mengenai obat-obatan yang diperkirakan sebagai karya luar biasa semenjak masa Dioscorides sampai abad ke-XVI. Karya itu menjelaskan1400 ramuan obat-obatan, termasuk 200 tanaman-tanaman baru yang belum dikenal sebelumnya.....
Di antara para dokter yang profesional, maka Abul Qasm Az-Zahrawi (w. 1013) dan Ibnu Zuhr (w.1162)-lah yang paling besar. Az-Zahrawi , terkenal di Eropa dengan nama Abulacasis, adalah seorang dokter yang menggunakan pengaruhya kuat-kuat untuk meletakkan dasar daripada kedokteran modern...
Ibnu Zuhr adalah seorang dokter pengobatan, dan dikenal oleh Kristen Latin dengan nama Avenzoar. Dia adalah kawan sebaya Ibnu Rusyd, yang menganggapnya sebagai seorang dokter terbesar semenjak Galen. Dia telah menulis enam buah kitab mengenai obat-obatan, therapeutik dan diet, yang mana tiga buahnya masih dapat bertahan. Dia adalah orang pertama yang membicarakan nyeri-nyeri pada tulang-tulang; keluarganya juga dikatakan dapat mempersembahkan enam angkatan dokter kenamaan.”
Penutup
Pertengahan abad IX peradaban Islam telah meliputi seluruh Andalusia. Masuknya Islam ke Andalusia, yaitu setelah Abdur Rahman ad-Dakhil (756 M) berhasil membangun pemerintahan yang berpusat di Andalusia. Tentunya, kemajuan tersebut tidak terlepas dari berbagai faktor pendukung, antara lain oleh adanya penguasa-penguasa yang kuat dan berwibawa, yang mampu mempersatukan kekuatan-kekuatan umat Islam, seperti Abdurrahman al-Dakhil, Abdurrahman al-Wasith dan Abdurrahman an-Nashir. Keberhasilan politik pemimpin-pemimpin tersebut ditunjang oleh kebijaksanaan penguasa-penguasa lainnya yang memelopori kegiatan-kegiatan ilmiah, dan yang terpenting di antara penguasa dinasti Umawiyah di Andalusia dalam hal ini adalah Muhammad ibn Abdurrahman (852-886M) dan al-Hakam II al-Muntashir (961-976M). Juga adanya sikap toleransi beragama yang ditegakkan oleh para penguasa terhadap penganut agama Kristen dan Yahudi, sehingga komunitas-komunitas itu dapat bekerjasama dan menyumbangkan kelebihannya masing masing.
Sejak abad ke-XI dan seterusnya, banyak sarjana mengadakan perjalanan dari ujung barat wilayah Islam ke ujung timur, sambil membawa buku-buku dan gagasan-gagasan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun umat Islam terpecah dalam beberapa kesatuan politik, terdapat apa yang disebut kesatuan budaya dunia Islam. Di satu sisi, perpecahan politik juga terjadi pada masa Muluk ath-Thawa'if dan sesudahnya, tetapi, tidak menyebabkan mundurnya peradaban. Masa itu, bahkan merupakan puncak kemajuan ilmu pengetahuan, kesenian, dan kebudayaan Andalusia Islam. Setiap dinasti (raja) di Malaga, Toledo, Sevilla, Granada, dan lain-lain berusaha menyaingi Kordova. Kalau sebelumnya Kordova merupakan satu-satunya pusat ilmu dan peradaban Islam di Andalusia, Muluk ath-Thawa'if berhasil mendirikan pusat-pusat peradaban baru yang diantaranya justru lebih maju.
Tetapi, sebagaimana dinasti-dinasti lain yang pernah berjaya, selalu ada masa pasang-surutnya. Beberapa penyebab kemunduran dan kehancuran Umat Islam di Andalusia di antaranya konflik Islam dengan Kristen, tidak adanya ideologi pemersatu, kesulitan ekonomi, tidak jelasnya sistem peralihan kekuasaan, dan keterpencilan.
Namun, walau demikian, sejarah mengakui bahwa melalui Andalusia, Sicilia dan Perancis Selatan yang berada langsung di bawah pemerintahan Islam, peradaban Islam memasuki Eropa. Bahasa Arab menjadi bahasa internasional yang digunakan berbagai suku bangsa di berbagai negeri di dunia. Baghdad di Timur dan Kordova di Barat, dua kota raksasa Islam menerangi dunia dengan cahaya gilang-gemilang. Sekitar tahun 830 M, Alfonsi-Raja Asturia telah mendatangkan dua sarjana Islam untuk mendidik ahli warisnya. Sekolah Tinggi Kedokteran yang didirikan di Perancis (di Montpellier) dibina oleh beberapa orang Mahaguru dari Andalusia. Keunggulan ilmiah kaum muslimin tersebar jauh memasuki Eropa dan menarik kaum intelektual dan bangsawan Barat ke negeri-negeri pusatnya.
Kenyataan tersebut tidak mengherankan, karena pada saat kekhilafahan Islam berkuasa saat itu Andalusia menjadi pusat pembelajaran (centre of learning) bagi masyarakat Eropa dengan adanya Universitas Kordova. Di Andalusia itulah mereka banyak menimba ilmu, dan dari negeri tersebut muncul nama-nama ulama besar kenamaan. Hal tersebut telah mengilhami penulis-penulis Barat untuk melakukan hal yang sama.
Di Andalusia (Andalusia bagian Selatan), berbagai universitasnya pada saat itu dipenuhi oleh banyak mahasiswa Katolik dari Perancis, Inggeris, Jerman dan Italia. Pada masa itu, para pemuda Kristen dari berbagai negara di Eropa dikirim berbondong-bondong ke sejumlah perguruan tinggi di Andalusia guna menimba ilmu pengetahuan dan teknologi dari para ilmuwan muslim. Sebagian dari mereka adalah Gerard dari Cremona; Campanus dari Navarra; Aberald dari Bath; Albert dan Daniel dari Morley yang telah menimba ilmu demikian banyak dari para ilmuwan muslim, untuk kemudian pulang dan menggunakannya secara efektif bagi penelitian dan pengembangan di masing-masing bangsanya. Dari sini kemudian sebuah revolusi pemikiran dan kebudayaan telah pecah dan menyebarluas ke seluruh masyarakat dan seluruh benua. Para pemuda Kristen yang sebelumnya telah banyak belajar dari para ilmuwan muslim, telah berhasil melakukan sebuah transformasi nilai-nilai yang unggul dari peradaban Islam yang kemudian diimplementasikan pada peradaban mereka (Barat) yang selanjutnya berimplikasi terhadap kemajuan diberbagai bidang ilmu pengetahuan.
Dari pusat-pusat peradaban Islam yang meliputi Baghdad, Damaskus, Kordova, Sevilla, Granada dan Istanbul, telah memancarkan sinar gemerlap yang menerangi seluruh penjuru dunia. Terlebih Kordova, Sevilla, Granada yang merupakan bagian dari kekuasaan Islam di Andalusia telah banyak memberikan kontribusi besar terhadap tumbuh dan berkembangnya peradaban modern di dunia Barat.
Walaupun Islam pada akhirnya terusir dari negeri Andalusia dengan cara yang sangat kejam, tetapi ia telah membidani gerakan-gerakan penting di Eropa: kebangkitan kembali kebudayaan Yunani Klasik (renaissance) pada abad ke-XIV yang bermula di Italia, gerakan reformasi pada abad ke-XVI, rasionalisme pada abad ke-XVII, dan pencerahan (aufklaerung) pada abad ke-XVIII.
(* Ditulis oleh Miski M.
Referensi:
Asmuni, Yusron. 1996. Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran. Jakkarta: RajaGrafindo Persada.
Dahlan, Abd. Rahman.. 2010. Ushul Fikih. Jakarta: Amzah.
Hitti, K. Phillip. 2010. History of The Arabs (Edisi Indonesia, R. Cecep Luklman d kk.), Jakarta: PT. SERAMBI ILMU SEMESTA.
Januardi, Budi Suherdiman. http://www.dudung.net/artikel-islami/jejak-kegemilangan-umat-islam-dalam-pentas-sejarah-dunia.html. Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011, pada pukul 16:03 WIB.
Sby, Sariono. http://referensiagama.blogspot.com. Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011, pada pukul 16:03 WIB.
Siddiqi, Amir Hasan . 1987. Studies in Islamic History (Edisi Indonesia, H. M. J. Irawan). Bandung: Al-Ma’arif.
ZAHARI, http://zanikhan.multiply.com/journal/item/1630 Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011, pada pukul 16:03 WIB.
Yatim, Badri. 2000. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo.
Agama dan Sains
Pendahuluan
“Mereka yang tidak memahami sejarah, akan dikibuli oleh dongeng.” Demikian kata Sanihu Munir. Ungkapan singkat, tetapi padat dan sarat makna. Begitulah. Sejarah memang sangat penting, tanpa terkecuali sejarah kebudayaan Islam, sebagai kaca perbandingan pada masa sekarang dan selanjutnya, atau minimal sebagai khazanah pengetahuan yang akan menambah wawasan kita.
Secara garis besar, sejarah perkembangan dan pertumbuhan dunia Islam dapat kita bagi pada tiga periode, Pertama: Periode Abad Klasik (650-1250 M), Kedua: Periode Abad Pertengahan (1250-1800), Ketiga: Periode Abad Modern (1800-sekarang).
Pada kesempatan ini kita akan membahas tentang sejarah kebudayaan Islam pada Periode Abad Klasik-Abad Pertengahan, yang lebih spesifik lagi seputar Dinasti Umawiyah di Andalusia, tentunya, terkait perkembangan Islam, ilmu pengetahuan dan sains, bukan masalah peradaban lain, seperti pembangunan fisik dan lain sebgainya, kecuali sebagian kecil, guna melengkapi, atau sekedar penguat saja.
Berbicara tentang Andalusia, terdapat tiga pahlawan Islam yang dapat dikatakan paling berjasa memimpin satuan-satuan pasukan ke sana. Mereka adalah Tharif bin Malik, Thariq bin Ziyad, dan Musa bin Nushair.
“Gibraltar” atau “Jabal al-Thariq” merupakan bukti sejarah akan kesuksean ekspedisi di Andalusia pada waktu itu (711 M). Penaklukan yang dilakukan oleh umat Islam pada permulaan abad ke VIII membuka lembaran baru bagi kejayaan peradaban di sana.
Perkembangan Islam di Andalusia
Sejak pertama kali menginjakkan kaki di tanah Andalusia hingga jatuhnya kerajaan Islam terakhir di sana, Islam memainkan peranan yang sangat besar. Masa itu berlangsung lebih dari tujuh setengah abad, yang dapat dibagi menjadi enam periode.
Namun, dalam pemerintahan dinasti Umawiyah, secara garis besar dibagi menjadi dua masa, pertama: Andalusia berada di bawah pemerintahan para wali yang diangkat oleh Khalifah Dinasti Umawiyah yang berpusat di Damaskus. Pada periode ini stabilitas politik negeri Andalusia belum tercapai secara sempurna, gangguan-gangguan masih terjadi, baik datang dari dalam maupun dari luar. Kedua: pemerintahan dinasti Umawiyah di Andalusia sebagai kekhalifahan tersendiri yang beribu kota di Kordova. Pada masa ini mula-mula Andalusia berada di bawah pemerintahan seorang yang bergelar amir (panglima atau gubernur) tetapi tidak tunduk kepada pusat pemerintahan Islam, yang ketika itu dipegang oleh khalifah Abbasiyah di Baghdad, kemudian berubah pemerintahan yang dipegang oleh seorang penguasa yang bergelar khalifah. Sistem kekhalifahan ini berlangsung mulai dari pemerintahan Abdurrahman III yang bergelar An-Nasir sampai munculnya "raja- raja kelompok" yang dikenal dengan sebutan Muluk al-Thawaif.
Sejarah mengakui bahwa sewaktu Andalusia ditaklukan, tingkat peradabannya begitu rendah dan keadaan pada umumnya sangat menyedihkan. Maka, tidak heran apabila saat itu umat Islam lebih banyak mengajar daripada belajar. Hingga pada suatu masa, di mana Andalusia berada di bawah kekuasaan Dinasti Umawiyah, mencapai puncak kejayaan pada masa Abdurrahman III (912-961) dan Al-Hakam II (961-976) yang memproklamirkan diri sebagai khalifah. Namun, keagungan periode ini terletak dalam bidang keilmuan, bukan politik. Secara lebih detail, Philip K. Hitti menggambarkan Al-Hakam II:
“....adalah seorang sarjana dan pendukung ilmu pengetahuan. Ia mamberikan banyak hadiah kepada para sarjana, dan mendirikan 27 sekolah gratis di ibukota. Di bawah kekuasaanya, Universitas Kordova – didirikan di masjid utama oleh Abdurrahman III – berkembang dan meraih keunggulan di antara lembaga-lembaga pendidikan di dunia. Ia mendahului al-Azhar di Kairo dan Nidhamiyah di Baghdad, juga menarik minat para siswa, Kristen dan Muslim, tidak hanya dari Andalusia, tapi juga dari wilayah-wilayah lain di Eropa, Afrika dan Asia....
Selain Universitas, ibukota juga memiliki sebuah perpustakaan paling besar. Al-Hakam adalah seorang pecinta buku. Para pegawainya menjelajahi semua toko buku di Iskandariyah, Damaskus dan Baghdad, untuk membeli atau menyalin berbagai naskah....”
Jadi, bukan hanya usaha perluasan wilayah saja yang dilakukan, melainkan juga
pengembangan seni, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan. Hal ini dapat terlaksana karena adanya kerja sama dengan negeri-negeri tetangga, termasuk dinasti Abbasiyah yang semula menjadi musuh mereka. Letak Andalusia
yang berada di benua Eropa memungkinkan berkembangnya ilmu pengetahuan ke
berbagai wilayah Eropa. Intinya, melalui dunia Islam-lah mereka mendapat akses untuk mendalami dan mengembangkan ilmu pengetahuan modern.
Sebelum Islam datang, menurut Gustav Le Bon, Eropa berada dalam kondisi kegelapan, tak satupun bidang ilmu yang maju bahkan lebih percaya pada takhayul. Menurut George Barton, ketika dunia Barat sudah cukup masak untuk merasakan perlunya ilmu pengetahuan yang lebih dalam, perhatiannya pertama-tama tidak ditujukan kepada sumber-sumber Yunani, melainkan kepada sumber-sumber Arab. Oliver Leaman menggambarkan kondisi kehidupan intelektual di sana sebagai berikut:
“….pada masa peradaban agung [wujud] di Andalus, siapapun di Eropa yang ingin mengetahui sesuatu yang ilmiyah ia harus pergi ke Andalus. Di waktu itu banyak sekali problem dalam literatur Latin yang masih belum terselesaikan, dan jika seseorang pergi ke Andalus maka sekembalinya dari sana ia tiba-tiba mampu menyelesaikan masalah-masalah itu. Jadi Islam di Andalusia mempunyai reputasi selama ratusan tahun dan menduduki puncak tertinggi dalam pengetahuan filsafat, sainss, tehnik dan matematika. Ia mirip seperti posisi Amerika saat ini, dimana beberapa universitas penting berada”.
Pengakuan serupa juga disampaikan oleh William Drapper:
“Pada zaman itu Ibu Kota pemerintahan Islam di Kordova merupakan kota paling beradab di Eropa, 113.000 buah rumah, 21 kota satelit, 70 perpustakaan dan toko-toko buku, masjid-masjid dan istana yang banyak. Kordova menjadi mashur di seluruh dunia, dimana jalan yang panjangnya bermil-mil dan telah dikeraskan diterangi dengan lampu-lampu dari rumah-rumah di tepinya. Sementara kondisi di London 7 abad sesudah itu (yakni abad 15 M), satu lampu umumpun tidak ada. Di Paris berabad-abad sesudah zaman Kordova, orang yang melangkahi ambang pintunya pada saat hujan, melangkah sampai mata kakinya ke dalam lumpur”.
Awal dari kehancuran dinasti Umawiyah di Andalusia adalah ketika Hisyam naik tahta dalam usia sebelas tahun. Pada masa itu kekuasaan aktual berada di tangan para pejabat. Pada tahun 981 M, Khalifah menunjuk Ibn Abi Amir sebagai pemegang kekuasaan secara mutlak. Dia seorang yang ambisius yang berhasil menancapkan kekuasaannya dan melebarkan wilayah kekuasaan Islam dengan menyingkirkan rekan-rekan dan saingan-saingannya. Atas keberhasilan-keberhasilannya, ia mendapat gelar al-Manshur Billah. Ia wafat pada tahun 1002 M dan digantikan oleh anaknya al-Muzaffar yang masih dapat mempertahankan keunggulan kerajaan. Akan tetapi, setelah wafat pada tahun 1008 M, ia digantikan oleh adiknya yang tidak memiliki kualitas bagi jabatan itu. Dalam beberapa tahun saja, negara yang tadinya makmur dilanda kekacauan dan akhirnya kehancuran total. Pada tahun 1009 M khalifah mengundurkan diri.
Beberapa orang yang dicoba untuk menduduki jabatan itu tidak ada yang sanggup memperbaiki keadaan. Akhirnya pada tahun 1013 M, Dewan Menteri yang memerintah Kordova menghapuskan jabatan khalifah. Ketika itu, Andalusia sudah terpecah dalam banyak sekali negara kecil yang berpusat di kota-kota tertentu.
Kemajuan Dunia Pengetahuan Agama, Intelektual dan Sains
Pendidikan di Andalusia meluas, sampai ke berbagai pelosok. Sehingga tidak heran apabila sebagian besar umat Islam bisa membaca dan menulis. Kemampuan baca tulis Al-Quran, serta tata bahasa dan puisi arab merupakan pendidikan dasar, sebagaimana negara Islam lainnya. Sedangkan pendidikan yang lebih tinggi difokuskan pada tafsir Al-Quran, teologi, filsafat, tata bahasa Arab, leksikografi, sejarah dan geografi. Beberapa kota penting, seperti Sevilla, Malaga, Granada dan Kordova memiliki universitas. Bahkan, Universitas Kordova memiliki beberapa jurusan, seperti astronomi, matematika dan kedokteran, sebagai tambahan untuk jurusan teologi dan hukum.
Masing-masing universitas, memiliki perpustakaan yang berdampingan dengan gedung universitas tersebut, tanpa terkecuali universitas yang di Kordova, yang pembangunannya dipeloori oleh Muhammad I (852-886) kemudian diperluas oleh Abdurrahman III, lalu menjadi perpustakaan terbesar dan terbaik ketika Al-Hakam II menyumbangkan koleksi pribadinya, bahkan pada masa ini, beberapa orang, termasuk beberapa wanita, mempunyai koleksi buku pribadi. Selain itu, Andalusia merupakan negeri yang subur, mendatangkan pengahsilan ekonomi yang tinggi, yang pada gilirannya banyak melahirkan para intelek dan cendekiawan besar.
Masyarakat Andalusia adalah masyarakat majemuk, yang terdiri dari berbagai komunitas: Arab (Utara dan Selatan), Al-Muwalladun (Orang-orang Andalusia yang masuk Islam), Barbar (umat Islam yang berasal dari Afrika Utara), Ash-Shaqalibah (penduduk daerah antara Kostantinopel dan Bulgaria yang menjadi tawanan Jerman, yang kemudian dijual kepada penguasa Islam untuk dijadikan tentara bayaran), Yahudi, Kristen Muzareb, yang berbudaya Arab dan Kristen yang masih menentang Islam.
Semua ini menjadi bagian dari beberapa faktor utama kemajuan dunia pengetahuan agama, intelektual, sains dan berbagai kebudayaan penting lainnya. Banyak prestasi yang berhasil mereka torehkan dalam pentas sejarah dunia, bahkan pengaruhnya membawa Eropa, dan kemudian dunia, pada kemajuan yang lebih kompleks.
Berikut ini beberapa contoh kemajuan Andalusia dalam dunia intelektual dan sains, yang masih terekam kuat dalam sejarah:
Fikih
Dalam bidang fikih, muslim Andalusia dikenal penganut madzhab Maliki, diperkenalkan oleh Ziyad bin Abdurrahman. Perkembangan selanjutnya oleh Yahya bin Yahya (w. 849), seorang qhadli pada masa Hisyam bin Abdurrahman, dari suku Mashmudah, murid dari Imam Malik bin Anas di Baghdad (Ini penulis temukan dalam buku, HISYORY OF THE ARABS. Padahal, harusnya Imam Malik ini di Madinah. sebgaimana disebutkan oleh beberapa literatur yang lain). Madzhab Malik begitu tertanam kuat di kawasan ini, sehingga orang-orang di sana terbiasa mengatakan: “Kami tidak mengenal karya lain, kecuali Kitab Allah dan Muwaththa’ Malik.”
Selain dua tokoh di atas, yang juga dikenal sebagai tokoh fikih ada Ibnu Rusyd (1126-1198) dengan karyanya, Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid, Abu Bakar bin Al-Quthiyah, Munzir bin Sa'id Al-Baluthi Ibnu Hazm (994-1064), dan lain-lain.
Filsafat dan Tasawuf
Konon, keagungan pengabdian Islam di Andalusia terletak pada filsafatnya. Islam di Andalusia telah mencatat satu lembaran budaya yang sangat brilian dalam bentangan sejarah Islam. Ia berperan sebagai jembatan penyeberangan yang dilalui ilmu pengetahuan Yunani-Arab ke Eropa pada abad ke-XII.
Tokoh utama pertama dalam sejarah filsafat Arab-Andalusia adalah Abu Bakar Muhammad bin Al-Sayigh yang lebih dikenal dengan Ibn Bajjah (Avenpace, Avempace). Dilahirkan di Saragossa, ia pindah ke Sevilla dan Granada. Meninggal karena keracunan di Fezzan tahun 1138 M dalam usia yang masih muda. Seperti Al-Farabi dan Ibn Sina di Timur, masalah yang dikemukakannya bersifat etis dan eskatologis. Magnum opusnya adalah Tadbir al-Mutawahhid (Rezim yang sendirian). Dia adalah seorang filosuf, dokter dan mahir dalam bidang seni musik, sekaligus komentator tentang pemikiran Aristoteles, dan sudah menulis beraneka karya dalam bidang-bidang tersebut. Menurutnya, seseorang yang melatih nalarnya secara sempurna, akan sampai pada kebenaran, walau pun tanpa bimbingan wahyu atau perantara lainnya.
Tokoh utama kedua adalah Abu Bakar bin Thufail, penduduk asli Wadi Asy, sebuah dusun kecil di sebelah timur Granada dan wafat pada usia lanjut tahun 1185 M. Ia banyak menulis masalah kedokteran, astronomi dan filsafat. Karya filsafatnya yang sangat terkenal adalah Hay bin Yaqdhan (Yang hidup, anak kesadaran). Sama dengan Ibnu Bajjah, menurutnya, manusia dengan kapasitas yang dimilikinya, tanpa bantuan sedikitpun dari luar, tetap akan mampu mencapai pengetahuan tentang dunia yang lebih tinggi, dan secara bertahap akan menemukan ketergantungannya dengan Realitas Puncak. Cerita ini merupakan cerita paling asli dan menghibur pada abad pertengahan, pertama kali diterjemahkan dalam bahasa Latin oleh Edward Pococke (1671), lalu ke dalam sebagian besar bahasa Eropa, termasuk Belanda (1672), Rusia (1920) dan Andalusia (1934).
Bagian akhir abad ke-XII menjadi saksi munculnya seorang pengikut Aristoteles yang terbesar di gelanggang filsafat dalam Islam, yaitu Ibn Rusyd (Averroes) dari Kordova. Ia lahir tahun 1126 M dan meninggal tahun 1198 M. Ciri khasnya adalah kecermatan dalam menafsirkan naskah-naskah Aristoteles dan kehati-hatian dalam menggeluti masalah-masalah menahun tentang keserasian filsafat dan agama. Dia juga ahli fikih dengan karyanya Bidayah Al-Mujtahid. Pada Tahun 1169-1171 ia menjabat sebagai qadli (hakim agung) di Sevilla, dan dua tahun berikutnya di Kordova. Karya filsafatnya yang paling penting, di samping komentar-komentarnya terhadap pemikiran Aristoteles adalah Tahafut at-Tahafut, sebagai bantahan terhadap serangan Al-Ghazali atas rasionalisme dalam karyanya, Tahafut Al-Falasifah (Kakacauan Filsafat).
Dalam dunia kedokteran, sumbangan yang paling penting adalah karya ensikplodia, yang berjudul Al-Kulliyat fith-Thibb (Generalitas dalam kedokteran). Di dalamnya dia menyatakan bahwa orang yang telah terkena cacar air tidak akan terkena untuk kedua kalinya, dia juga menjelaskan tentang fungsi retina.
Yang terakhir, dan tidak kalah pentingnya adalah Muhyiddin Ibnul Araby (1165-1240), seorang filosuf, sufi spekulatif terbesar dalam sejarah tasawuf, berpengaruh dalam dunia muslim dengan perantara filsafatnya yang berbau mistik, syekh tariqat mistik. Di kalngan sufi dikenal sebagai Syaikhul Akbar,atau sang guru besar. Di antara karyanya yang sangat berpengaruh adalah, Al-Futuhat Al-Makkiyah, Fushul Al-Hikam,dan Al-Isra’ ila Maqam Al-Asra.
Sejarah dan Geografi
Salah seorang sejarawan Andalusia yang paling awal dan paling kondang adalah Abu Bakar bin Umar, yang biasa dikenal dengan sebutan Ibnul Quthiyah (w. 997). Karyanya yang berjudul Tarikh Iftitah Al-Andalus, mengulas sejarah Andalusia mulai dari penaklukan umat Islam sampai pada bagian awal kepemimpinan Abdurrahman III.
Sejarawan lain yang sezaman adalah Marwan Hayyan bin Khalaf (987-1076) dari Kordova. Dia berhasil menulis lebih dari lima puluh judul, satu di antaranya Al-Matin, terdiri dari enam puluh jilid. Sayangnya, cuma ada satu buah karya yang berhasil diselamatkan, yaitu, Al-Muqtabis fi Tarikh Rijal Al-Andalus. Bangsa Andalusia juga melahirkan beberapa penulis biografi, antara lain: Ibnul Faradli (lahir 962) di Andalusia, dengan karyanya, Tarikh Ulama Al-Andalus, Ibnu Basykuwal (1101-1183) dengan karyanya, Ash-Shilah, lahir dan wafat di Kordova, Ibnul Abbar (1199-1260) dengan karyanya, Takmilah li Kitab Ash-Shilah, dari Valencia, Ibnu Yahya (w. 1203), menulis Bughyah Al-Multamis fi Tarikh Rijal Al-Andalus, hidup di kota Mursia.
Selain itu, dalam sejarah ilmu pengetahun kita mendapati buah karya Abul Qasim Sa’id bin Ahmad Al-Andalusi (1029-1070), yang berjudul Thabaqat Al-Umam. Selanjutnya, kita juga mengenal Ibnul Khatib (1313-1374), dengan karya pentingnya tentang sejarah Granada; dan Ibnu Khaldun 1332-1406) dengan Muqaddimahnya, yang pada gilirannya merupakan letak ketenarannya. Dia adalah penemu cabang ilmu sosiologi. Bahkan, tidak ada penulis Arab atau pun Eropa yang pernah meletakkan sudut pandang sejarah yang lebih konprehensif dan filosofis, dan merupakan filosof sejarah terbesar yang pernah dilahirkan Islam sepanjang waktu.
Sedangkan ahli geografi terbaik dan kondang dari abad ke-XI adalah Al-Bakari (w. 1094), seorang Arab Andalusia, hidup dan wafat di Kordova dan karyanya dapat bertahan hinnga kini, dengan judul Al-Masalik wal Mamalik. Pada abad ke-XII, bahkan sepanjang abad Pertengahan adalah Al-Idrisi, seorang turunan bangsawan Arab Andalusia yang mendapatkan pendidikan di Andalusia. Ibn Jubair dari Valencia (1145-1228 M) menulis tentang negeri-negeri muslim Mediterania dan Sicilia dan Ibn Batuthah dari Tangier (1304-1377 M) mencapai Samudera Pasai dan Cina.
Astronomi
Ahli astronomi Andalusia-Arab yang paling awal adalah Abul Qasim Al-Majrit (w. 1007) dari Kordova, Az Zarqali (1029-1087) dari Toledo, dan Ibnu Aflah (w. Antara 1140-1150) dari Sevilla. Sedangkan tokoh terpenting di antara astronom terakhir dari Andalusia adalah Al-Bitruji (Alfetragius, w. -+ 1204). Mereka mendukung sistem astronomi Aristoteles, dan menyerang sistem Ptolemius tentang pergerakan benda-benda angkasa. Baru kemudian pada akhir abad ke-XII, banyak muncul buku terjemahan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Latin, terkait karya Aristoteles dalam bidang astronomi, fisika dan meteorologi, juga geografi.
Kajian tentang astronomi mencapai puncak kejayaan setelah Abad ke-X dan berkembang pesat berkat bantuan khusus dari penguasa Kordova, Sevilla, dan Toledo. Karya utama muslim dalam bidang astronomi diterjemahkan dari bahasa Andalusia pada bahasa Latin. Jadi, skema astronomi Alfonso yang disusun di bawah perintah Alfonso X pada Abad ke-XIII hanyalah pengembangan dari astronomi Arab.
Mayoritas ahli astronomi di Andalusia, seperti halnya Abu Ma’syar dari Baghdad, mempercayai pengaruh bintang sebagai sebab terjadinya berbagai peristiwa penting antara kelahiran dan kematian manusia di dunia. Ilmu tentang pengaruh bintang-bintang ini disebut astrologi. Ini membantu manusia untuk menentukan lokasi berbagai tempat di seluruh dunia, garis lintang dan bujurnya. Dengan demikian, berarti astrologi memberikan sumbangan besar pada kajian astronomi. Namun walaupun begitu, sistem pengembangan astronomi yang dilakukan oleh para ahli astronomi Arab Andalusia masih bersandar pada karya-karya astronomi dan astrologi yang dihasilkan oleh muslim dari Timur.
Selain yang sudah disebutkan, ada Abbas bin Famas termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi, orang pertama yang menemukan pembuatan kaca dari batu. Begitu pula, Ibrahim bin Yahya An-Naqqash, juga terkenal dalam ilmu astronomi. Ia dapat menentukan waktu terjadinya gerhana matahari dan menentukan berapa lamanya. Ia juga berhasil membuat teropong modern yang dapat menentukan jarak antara tata surya dan bintang-bintang.
Pengetahuan Alam dan Kedokteran
Dalam bidang pengetahuan alam yang terkait dengan ilmu botani murni dan terapan juga kedokteran, jasa-jasa Umat Islam Andalusia tidak kalah menarik perhatian. Layaknya dalam bidang astronomi dan matematika, mereka memperkaya dunia dengan berbagai penelitian.
Menurut Dr. Amir Hasan As-Siddiqi, dalam bidan botani murni dan terapan, umat Islam Andalusia bisa mengungguli pesainsgnya, muslim timur. Lebih lanjut dia menjelaskan:
“...Mereka mengumpulkan tanaman-tanaman di Andalusia dan Afrika utara, dan memberinya nama-nama Arab, Latin dan Bar-bar secara layak, mengelompokkan dan mengadakan pengamatan yang teliti.... Dalam karyanya yang menonjol dalam bidang pertanianm berjudul, Al-Filahah, Abu Zakariya sibuk dengan 585 tumbuh-tumbuhan dan menerangkan pemeliharaan lebih dari 50 pohon buah-buahan. Seorang muslim ahli botani dan obat-obatan terbesar ialah Ibnu Baytar (w. 1248), yang mempunyai berjilid-jilid Al-Jami’fi Al-Adwiyat Al-Muadah, mengenai obat-obatan yang diperkirakan sebagai karya luar biasa semenjak masa Dioscorides sampai abad ke-XVI. Karya itu menjelaskan1400 ramuan obat-obatan, termasuk 200 tanaman-tanaman baru yang belum dikenal sebelumnya.....
Di antara para dokter yang profesional, maka Abul Qasm Az-Zahrawi (w. 1013) dan Ibnu Zuhr (w.1162)-lah yang paling besar. Az-Zahrawi , terkenal di Eropa dengan nama Abulacasis, adalah seorang dokter yang menggunakan pengaruhya kuat-kuat untuk meletakkan dasar daripada kedokteran modern...
Ibnu Zuhr adalah seorang dokter pengobatan, dan dikenal oleh Kristen Latin dengan nama Avenzoar. Dia adalah kawan sebaya Ibnu Rusyd, yang menganggapnya sebagai seorang dokter terbesar semenjak Galen. Dia telah menulis enam buah kitab mengenai obat-obatan, therapeutik dan diet, yang mana tiga buahnya masih dapat bertahan. Dia adalah orang pertama yang membicarakan nyeri-nyeri pada tulang-tulang; keluarganya juga dikatakan dapat mempersembahkan enam angkatan dokter kenamaan.”
Penutup
Pertengahan abad IX peradaban Islam telah meliputi seluruh Andalusia. Masuknya Islam ke Andalusia, yaitu setelah Abdur Rahman ad-Dakhil (756 M) berhasil membangun pemerintahan yang berpusat di Andalusia. Tentunya, kemajuan tersebut tidak terlepas dari berbagai faktor pendukung, antara lain oleh adanya penguasa-penguasa yang kuat dan berwibawa, yang mampu mempersatukan kekuatan-kekuatan umat Islam, seperti Abdurrahman al-Dakhil, Abdurrahman al-Wasith dan Abdurrahman an-Nashir. Keberhasilan politik pemimpin-pemimpin tersebut ditunjang oleh kebijaksanaan penguasa-penguasa lainnya yang memelopori kegiatan-kegiatan ilmiah, dan yang terpenting di antara penguasa dinasti Umawiyah di Andalusia dalam hal ini adalah Muhammad ibn Abdurrahman (852-886M) dan al-Hakam II al-Muntashir (961-976M). Juga adanya sikap toleransi beragama yang ditegakkan oleh para penguasa terhadap penganut agama Kristen dan Yahudi, sehingga komunitas-komunitas itu dapat bekerjasama dan menyumbangkan kelebihannya masing masing.
Sejak abad ke-XI dan seterusnya, banyak sarjana mengadakan perjalanan dari ujung barat wilayah Islam ke ujung timur, sambil membawa buku-buku dan gagasan-gagasan. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun umat Islam terpecah dalam beberapa kesatuan politik, terdapat apa yang disebut kesatuan budaya dunia Islam. Di satu sisi, perpecahan politik juga terjadi pada masa Muluk ath-Thawa'if dan sesudahnya, tetapi, tidak menyebabkan mundurnya peradaban. Masa itu, bahkan merupakan puncak kemajuan ilmu pengetahuan, kesenian, dan kebudayaan Andalusia Islam. Setiap dinasti (raja) di Malaga, Toledo, Sevilla, Granada, dan lain-lain berusaha menyaingi Kordova. Kalau sebelumnya Kordova merupakan satu-satunya pusat ilmu dan peradaban Islam di Andalusia, Muluk ath-Thawa'if berhasil mendirikan pusat-pusat peradaban baru yang diantaranya justru lebih maju.
Tetapi, sebagaimana dinasti-dinasti lain yang pernah berjaya, selalu ada masa pasang-surutnya. Beberapa penyebab kemunduran dan kehancuran Umat Islam di Andalusia di antaranya konflik Islam dengan Kristen, tidak adanya ideologi pemersatu, kesulitan ekonomi, tidak jelasnya sistem peralihan kekuasaan, dan keterpencilan.
Namun, walau demikian, sejarah mengakui bahwa melalui Andalusia, Sicilia dan Perancis Selatan yang berada langsung di bawah pemerintahan Islam, peradaban Islam memasuki Eropa. Bahasa Arab menjadi bahasa internasional yang digunakan berbagai suku bangsa di berbagai negeri di dunia. Baghdad di Timur dan Kordova di Barat, dua kota raksasa Islam menerangi dunia dengan cahaya gilang-gemilang. Sekitar tahun 830 M, Alfonsi-Raja Asturia telah mendatangkan dua sarjana Islam untuk mendidik ahli warisnya. Sekolah Tinggi Kedokteran yang didirikan di Perancis (di Montpellier) dibina oleh beberapa orang Mahaguru dari Andalusia. Keunggulan ilmiah kaum muslimin tersebar jauh memasuki Eropa dan menarik kaum intelektual dan bangsawan Barat ke negeri-negeri pusatnya.
Kenyataan tersebut tidak mengherankan, karena pada saat kekhilafahan Islam berkuasa saat itu Andalusia menjadi pusat pembelajaran (centre of learning) bagi masyarakat Eropa dengan adanya Universitas Kordova. Di Andalusia itulah mereka banyak menimba ilmu, dan dari negeri tersebut muncul nama-nama ulama besar kenamaan. Hal tersebut telah mengilhami penulis-penulis Barat untuk melakukan hal yang sama.
Di Andalusia (Andalusia bagian Selatan), berbagai universitasnya pada saat itu dipenuhi oleh banyak mahasiswa Katolik dari Perancis, Inggeris, Jerman dan Italia. Pada masa itu, para pemuda Kristen dari berbagai negara di Eropa dikirim berbondong-bondong ke sejumlah perguruan tinggi di Andalusia guna menimba ilmu pengetahuan dan teknologi dari para ilmuwan muslim. Sebagian dari mereka adalah Gerard dari Cremona; Campanus dari Navarra; Aberald dari Bath; Albert dan Daniel dari Morley yang telah menimba ilmu demikian banyak dari para ilmuwan muslim, untuk kemudian pulang dan menggunakannya secara efektif bagi penelitian dan pengembangan di masing-masing bangsanya. Dari sini kemudian sebuah revolusi pemikiran dan kebudayaan telah pecah dan menyebarluas ke seluruh masyarakat dan seluruh benua. Para pemuda Kristen yang sebelumnya telah banyak belajar dari para ilmuwan muslim, telah berhasil melakukan sebuah transformasi nilai-nilai yang unggul dari peradaban Islam yang kemudian diimplementasikan pada peradaban mereka (Barat) yang selanjutnya berimplikasi terhadap kemajuan diberbagai bidang ilmu pengetahuan.
Dari pusat-pusat peradaban Islam yang meliputi Baghdad, Damaskus, Kordova, Sevilla, Granada dan Istanbul, telah memancarkan sinar gemerlap yang menerangi seluruh penjuru dunia. Terlebih Kordova, Sevilla, Granada yang merupakan bagian dari kekuasaan Islam di Andalusia telah banyak memberikan kontribusi besar terhadap tumbuh dan berkembangnya peradaban modern di dunia Barat.
Walaupun Islam pada akhirnya terusir dari negeri Andalusia dengan cara yang sangat kejam, tetapi ia telah membidani gerakan-gerakan penting di Eropa: kebangkitan kembali kebudayaan Yunani Klasik (renaissance) pada abad ke-XIV yang bermula di Italia, gerakan reformasi pada abad ke-XVI, rasionalisme pada abad ke-XVII, dan pencerahan (aufklaerung) pada abad ke-XVIII.
(* Ditulis oleh Miski M.
Referensi:
Asmuni, Yusron. 1996. Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran. Jakkarta: RajaGrafindo Persada.
Dahlan, Abd. Rahman.. 2010. Ushul Fikih. Jakarta: Amzah.
Hitti, K. Phillip. 2010. History of The Arabs (Edisi Indonesia, R. Cecep Luklman d kk.), Jakarta: PT. SERAMBI ILMU SEMESTA.
Januardi, Budi Suherdiman. http://www.dudung.net/artikel-islami/jejak-kegemilangan-umat-islam-dalam-pentas-sejarah-dunia.html. Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011, pada pukul 16:03 WIB.
Sby, Sariono. http://referensiagama.blogspot.com. Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011, pada pukul 16:03 WIB.
Siddiqi, Amir Hasan . 1987. Studies in Islamic History (Edisi Indonesia, H. M. J. Irawan). Bandung: Al-Ma’arif.
ZAHARI, http://zanikhan.multiply.com/journal/item/1630 Diakses pada tanggal 02 Oktober 2011, pada pukul 16:03 WIB.
Yatim, Badri. 2000. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo.
0 comments:
Posting Komentar
Bismillah...