Dalam Islam, kegiatan ijtihad hampir tidak bisa terlepaskan. Merupakan fakta sejarah yang tidak terbantahkan, bahwa ia berperan penting dalam pembentukan hukum yang tidak ada ketentuan khusus dari nash, atau ada tetapi masih bersifat dhanni. Ia sejak dini telah diperaktekan oleh pembawa risalah, nabi Muhammad SAW, yang kemudian terus, dan terus berlanjut pada generasi berikutnya. Disebutkan, bahwa ia mencapai puncak pada periode lahirnya imam-imam madzhab. Ini ditandai dengan keberadaan al-risalah, sebuah metodologi yang pertama kali diperkenalkan oleh al-Syafi’i, dan sampai hari ini tetap dianggap relevan dan terus dijadikan acuan.
Keadaan mulai berubah setelah periode ini. Generasinya cenderung labih pada “menerima yang ada.” Penggalian hukum dari sumber orisinilnya sudah banyak ditinggalkan. Mereka sibuk dengan karya-karya pendahulu mereka yang sudah dianggap final. Akhirnya, isu-isu tertutupnya pintu ijtihad kerap kali terdengar, bahkan merambat kemana-kemana.
Melihat kemandugan intelektual,, fanatisme madzhab dan beberapa fenomena lain yang “bermasalah” di dunia muslim, sebagian ulama menyuarakan kembali pentingnya ijtihad, tetapi suara-suara ajakan itu seakan tidak terdengar, terbawa gaung doktrin taqlid yang semakin menjadi-jadi.
Lalu, siapa yang patut dipersalahkan? Mereka yang menyuarakan tertututpnya pintu ijtihad bukan tanpa alasan. Ada upaya antisipasi penyelewengan hukum, apabila ijtihad itu dilakukan oleh mereka yang tidak berkompten, dan tidak jarang juga ijtihad “diperjual-belikan” untuk kepentingan pribadi dan kelompok, juga alasan-alasan lain yang tidak dibenarkan..
Disamping itu, ada banyak tokoh pula yang menolak isu-isu penutupan pintu ijtihad, baik ulama klasik, maupun cendekiawan modern. Sebut saja, Izz al-Din bin Abd al-Salam, al-Suyuthi, al-Syaukani, Dr. Muhammad Sayyid Thanthawi, Abd al-Wahhab Khallaf dan lain-lain, dengan argumentasi masing-masing.
Menimbang
Kehadiran imam-iman madzhab tercatat telah menorehkan tinta emas dalam sejarah intelektualitas dan keilmuan umat Islam. Ini merupakan kebanggaan tersendiri bagi kita, umat Islam. Tetapi, merasa bangga dengan prestasi mereka, atau merasa cukup dengan karya-karya feomenal mereka bukan hal bijak. Karena, kondisi sosio-kultural kita berbeda dengan mereka. Mereka hidup di masa yang tidak terlalu kompleks seperti masa kita sekarang. Kita menjumpai banyak hal yang tidak ada pada saat mereka masih hidup. Jadi, bagaimana mungkin kita akan tetap terpaku dan mencukupkan diri dengan mereka, padahal, realitas hidup menuntut hukum agama untuk selalu tampil dinamis, aktif, antisipatif, dan siap menjawab berbagai persoalan?
Penutupan pintu ijtihad tidak ubahnya sebagai pengekangan terhadap kretivitas manusia. Keengganan melakukan ijtihad akan melahirkan kejumudan berfikir. Hanya ikut-ikutan, mengekor, kemudian yang ada hanyalah kemunduran. Kalau kita pikir-pikir, harusnya, aktivitas ijtihad itu lebih bisa kita lakukan di zaman sekarang, dari pada masa-masa imam mujtahid yang dulu. Memang, secara intelektual mungkin kita kalah dari mereka. Tetapi, dari segi media, hari ini lebih mudah kita jumpai. Semisal, dalam meneliti kualitas sebuah hadits, kita tidak perlu lagi melakukan rihlah beribu-ribu mil jauhnya, tetapi bisa dilakukan dalam kamar sambil meng-klik mausu’ah tentang hadits. Begiitu pula hal-hal lain, seperti ushul fiqh, tafsir, dan ensiklopedia, semua bisa didapat dengan mudah.
Catatan sederhana ini bukan berarti melegalkan aktifitas ijtihad secara liberal, bebas tanpa aturan. Ada wilayah-wilayah tertentu yang tidak boleh dilanggar. Semisal, terkait akidah dan hal-hal yang pasti lainnya. Aritnya, wilayah ijtihad hanya berkisar seputar hukum, atau pada nash yang masih bersifat dhanni, serta bisa juga pada kasus yang memeng belum pernah dibahas dalam nash.
Ringkasnya, ijtihad merupakan solusi dan kebutuhan mendasar umat manusia. Ijtihad adalah upaya menggali kembali warisan intelektual pendahulu kita. Sudah bukan waktunya lagi kita terkekang dalam kejumudan, apalagi merasa puas sehingga tidak ada sesuatu yang bisa kita lakukan, padahal persoalan zaman semakin nampak ke permukaan. Tidak ada dasar yang pasti, baik dari Al-Qur’an, maupun hadits yang secara resmi menutup pintu ijtihad. Yang ada malah sebaliknya, Islam memberikan ruang yang luas bagi umatnya, termasuk mengakui akan adanya perbedaan hasil yang akan dicapai. “Kalau kamu benar, akan mendapat dua pahala. Kalau salah akan mendapat satu.” merupakan bukti betapa bijak Islam menangani perbedaan. Islam melihat proses, tidak semata-mata hasilnya saja. Salah sekalipun tetap mendapat pengahrgaan. Namun, sekali lagi, dalam konteks ini ijtihad bukan berarti sembarangan. Ada aturan main yang perlu dipenuhi agar penghargaan itu dapat kita raih. Ya, dalam bahasa sederhananya, kredibel, mumpuni, ahli dan lain sebagainya, seperti yang telah dicanangkan oleh para ulama dalam tulisan-tulisan mereka. Andai secara personal kita tidak memungkinkan, ijtihad juga bisa dilakukan secara kolektif. Apabila masih juga belum memungkinkan, masih ada banyak hal yang bisa kita lakukan, bisa dengan tarjih, dan lain sebagainya. Islam sama sekali tidak mempersulit umatnya.
Ditulis oleh Miski M.*)